Sejak akhir 2011 Indonesia telah dibebani oleh defisit transaksi berjalan yang besar, menandakan bahwa Indonesia bergantung pada aliran modal asing. Defisit ini adalah sebuah kelemahan finansial yang dimonitor secara ketat oleh para investor. Pada masa guncangan-guncangan perekonomian global, para investor cepat menjual aset-aset pasar negara berkembang, terutama kalau sebuah pasar negara berkembang menunjukkan kelemahan-kelemahan finansial seperti besarnya defisit transaksi berjalan.

Pada tahun 2014 defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai 26,2 miliar dollar Amerika Serikat (AS), setara dengan 2,95% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menurun dari defisit (yang direvisi) sebesar 29,1 miliar dollar AS (3,18% dari PDB) di 2013. Bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan berkisar antara 2,8% sampai 3,0% dari PDB pada tahun 2015.

Pemerintah bertekad untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan – dengan cara mengdongkrak ekspor sambil membatasi impor – menjelang pengetatan moneter AS lebih lanjut (suku bunga AS yang lebih tinggi) dalam usaha mengurangi capital outflow dan mendukung rupiah yang telah melemah tajam terhadap dollar AS sejak pertengahan 2013 waktu Federal Reserve mulai berspekulasi tentang mengakhiri program quantitative easing.

Rupiah Indonesia versus Dollar Amerika Serikat (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia

Faktor-faktor yang menyebabkan defisit transaksi berjalan Indonesia adalah berakhirnya era boom komoditi, lambatnya pertumbuhan ekonomi global, kurang berkembanganya industri manufaktur berorientasi ekspor, dan impor minyak yang mahal. Di kuartal pertama tahun 2015, ekspor Indonesia menurun 11,7% menjadi 39,1 miliar dollar AS dibandingkan kuartal yang sama di tahun sebelumnya.

Mengenai impor minyak yang mahal, Pemerintah Indonesia telah mereformasi kebijakan subsidi bahan bakarnya yang berlimpah pada awal 2015 (yang merupakan reformasi yang relatif mudah karena rendahnya harga minyak mentah dunia), dan seharusnya menyebabkan biaya impor minyak yang lebih rendah.

Kendati begitu, ekonom Standard Chartered Bank Eric Sugandi mengatakan bahwa insentif pajak tidak akan cukup untuk mendongkrak ekpor karena itu tergantung pada apakah model bisnis perusahaan berorientasi pada ekspor atau pasar domestik. Perusahaan-perusahaan yang berfokus pada pasar domestik tidak akan tiba-tiba mulai mengekspor produk-produk karena adanya keringanan pajak ekspor. Justru, Pemerintah seharusnya berfokus pada infrastruktur dan tanah karena ini adalah isu-isu yang penting bagi para investor, menurut Sugandi.

Bahas