Meskipun Indonesia diberkahi dengan cadangan gas yang berlimpah (Indonesia memiliki cadangan gas terbesar ke-8 di dunia dan cadangan gas terbesar ke-3 di wilayah Asia-Pasifik setelah Australia dan Republik Rakyat Tionghoa), negara ini mungkin akan menjadi importir netto gas pada 2020 karena proses industrialisasi (dan juga karena pergeseran penggunaan minyak menjadi gas oleh pelaku industri besar) dan peningkatan jumlah orang Indonesia yang memiliki akses listrik menyebabkan kenaikan permintaan gas domestik yang berkelanjutan. Permintaan gas domestik diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam dua puluh tahun mendatang.

Beberapa faktor lain juga turut berperan. Pemerintah Indonesia pada tahun 2000an telah menandatangani kontrak-kontrak jangka panjang dengan para eksportir gas alam, dan karenanya membatasi suplai gas untuk pasar domestik (pada 2013, 52% dari produksi gas alam Indonesia diekspor keluar). Oleh karena itu, ironis bahwa Indonesia kesulitan memenuhi kebutuhan gas domestik mengingat bahwa negara ini adalah eksportir gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) terbesar ke-4 di dunia setelah Qatar, Malaysia dan Australia. Bahkan, akibat komitmen-komitmen ekspor, Indonesia harus membeli LNG di luar negeri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban ekspornya.

Isu lain yang membahayakan suplai gas Indonesia di masa mendatang adalah karena kurangnya investasi dalam eksplorasi dan pengembangan ladang-ladang gas baru. Pada akhir tahun lalu, Indonesian Petroleum Association menyatakan prediksinya bahwa investasi (untuk eksplorasi) menurun 20% pada 2015 (terutama karena rendahnya harga berbagai bahan bakar saat ini). Para analis mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya meyediakan iklim investasi yang lebih kondusif dan juga menawarkan insentif-insentif untuk menarik investasi (asing) dalam sektor gas di Indonesia.

Terlebih lagi, pengembangan infrastruktur tetap menjadi isu kunci dan juga tantangan kunci untuk Pemerintah Indonesia. Karena keadaan geografis Indonesia, distribusi gas dengan tanker lebih disukai dibandingkan pipa gas (blok-blok kunci dari cadangan gas alam terletak jauh dari pusat-pusat permintaan yang besar).

Birokrasi yang lambat dan berbelit-belit atau manajemen Pemerintah yang lemah, adalah hal lain yang telah menjadi halangan utama untuk proyek-proyek investasi. Contohnya proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) senilai 12 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dari Chevron (proyek gas alam deepwater pertama di Indonesia) di Selat Makassar telah ditunda karena operator tidak mengetahui apakah Pemerintah akan melanjutkan kontrak pembagian produksi, mengimplikasikan bahwa investasi senilai miliaran dollar AS pada saat ini sedang ditahan. Proyek IDD dijadwalkan untuk mulai produksi penuh pada 2018 namun hal ini mungkin akan tertunda selama dua tahun.

Proyek lain yang telah ditunda adalah proyek Masela dari Inpex di Laut Arafura. Inpex yang berbasis di Jepang, yang memegang 65% saham di Masela (sisanya di tangan Shell), meminta perpanjangan 20 tahun karena kontrak saat ini hanya memberikan sedikit waktu untuk mengembalikan investasi perusahaan.

Dalam usaha untuk memastikan suplai gas yang cukup di masa mendatang, Pemerintah telah menambah proporsi produksi gas yang ditujukan kepada pasar domestik (peningkatan menjadi 23,4 trillion cubic feet di 2015 dari 22,7 trillion cubic feet di 2014). Selain meningkatkan produksi gas, pengembangan infrastruktur gas juga dibutuhkan. Indonesia ingin menciptakan jaringan distribusi skala nasional yang mencakup bukan hanya Pulau Jawa yang padat penduduk namun juga menghubungkannya dengan ladang-ladang gas baru dan pembangkit-pembangkit gas baru di seluruh Nusantara (termasuk sebuah jaringan perpipaan baru yang menghubungkan ladang-ladang gas di Kalimantan ke Jawa). Ini akan menjadi sebuah tugas penting untuk Pemerintah, di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), untuk mendorong reformasi, menawarkan insentif-insentif pajak, menciptakan iklim investasi yang lebih menarik, dan menghancurkan birokrasi yang buruk (dan juga korupsi) di sektor ini.

Tanpa tindakan segera untuk mendorong eksplorasi, Indonesia mungkin akan menjadi importir netto gas struktural dari 2020 ke depan karena dibutuhkan tujuh sampai delapan tahun untuk mendirikan ladang gas baru. Hal yang sama terjadi di sektor minyak Indonesia. Pada pertengahan 1990an, Indonesia - saat itu masih menjadi anggota OPEC - menikmati puncak tingkat produksi minyak sebesar kira-kira 1,6 juta barrel per hari (bpd). Pada 2014, negara ini hanya memproduksi rata-rata 794,000 bpd, penurunan signifikan karena menuanya ladang-ladang minyak dikombinasikan dengan kurangnya eksplorasi dan investasi-investasi lain di sektor ini.

Bahas

George Barber |

Does not need to if the government was to carryout early exploration instead of relying on others to do it for them, investment will be forthcoming if the risk is decreased. Regulations also need to be addressed.