Pemerintah Indonesia menganggap kesepakatan-kesepakatan semacam ini sebagai solusi win-win. Para investor asing mendapatkan kontrol manajemen di sektor yang menguntungkan, sementara Pemerintah menganggap konsolidasi membuat sektor ini makin stabil karena para bank yang lebih kecil (dan lebih lemah) dimerger menjadi entitas-entitas yang lebih besar. Kendati hal ini membuat investasi menjadi lebih mahal dan kompleks untuk para pembeli asing, ini adalah deal yang menarik untuk para pembeli yang memiliki ambisi jangka panjang (perlambatan ekonomi dan penjagaan likuiditas wajib Basel untuk bank-bank, mengimplikasikan bahwa deal macam ini tidak menarik untuk para pencari keuntungan jangka pendek). Di sisi lain, Indonesia dikenal memiliki kebijakan yang berubah-ubah. Karena itu, selalu ada ancaman risiko terjadinya pembatasan kepemilikan asing lagi di masa mendatang.

Meskipun angka-angka keuntungan bank lokal telah melambat di beberapa tahun terakhir akibat perlambatan ekonomi negara ini, sektor perbankan Indonesia tetap termasuk salah satu sektor perbankan yang paling menguntungkan di dunia dengan rata-rata margin laba bersih 5% (dua kali lipat dibandingkan rata-rata margin Singapura dan Malaysia). Terlebih lagi, ada banyak ruang untuk pertumbuhan lebih lanjut mengingat bahwa penetrasi perbankan di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini tetap rendah. Saat ini ada 118 bank aktif di Indonesia. Kendati begitu, 10 bank terbesar mengontrol sekitar 60% dari total aset perbankan negara ini.

Kantor berita Bloomberg mencatat bahwa saham 10 institusi keuangan terkecil yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) telah naik 38% selama 12 bulan terakhir dibandingkan dengan penurunan 29% dalam nilai saham dari 10 institusi keuangan terbesar yang terdaftar di BEI karena para investor bertaruh pada deal merger semacam ini.

Pada awal tahun ini, China Construction Bank mengumumkan bahwa bank ini membeli Bank Windu Kentjana International yang bermarkas di Jakarta dan Bank Antardaerah. Sementara itu, Shinhan Bank yang berasal dari Korea Selatan menerima persetujuan untuk membeli lebih dari 40% saham di Bank Metro Express yang bermarkas di Jakarta dan Centratama Nasional Bank yang bermarkas di Surabaya.

Tahun lalu, J Trust Co. yang bermarkas di Jepang diizinkan untuk membeli 99% saham Bank Mutiara. Kendati begitu, ini adalah kasus khusus. Para pihak berwenang di Indonesia membuat pengecualian untuk akuisisi ini karena Bank Mutiara dianggap sebagai bank bermasalah. Bank Mutiara sebelumnya dikenal sebagai Bank Century, sebuah bank yang merupakan bagian dari program bailout Pemerintah, sebuah bailout yang terkenal dan kontroversial di 2008. Bank ini menjadi pusat dari sebuah skandal korupsi besar beberapa tahun kemudian.

DBS Group Holdings Ltd tidak diizinkan memiliki saham mayoritas di Bank Danamon Indonesia di 2013.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan bahwa lembaga ini belum menerima informasi mengenai investor-investor asing lain yang tertarik untuk membeli lebih dari 40% saham di dua bank lokal yang demerger.

Pendanaan Berkelanjutan: Indonesia akan Membatasi Peminjaman untuk Proyek Tidak Ramah Lingkungan

Sementara itu, OJK siap untuk membuat draft peraturan baru yang membatasi pinjaman bank-bank lokal untuk proyek-proyek agrikultur, energi, perikanan dan keuangan mikro yang berdampak buruk pada lingkungan hidup dalam rangka mencegah skandal-skandal yang baru saja terjadi seperti kebakaran hutan yang menimbulkan asap beracun yang menyebar di seluruh Asia Tenggara. Menurut laporan, delapan bank terbesar di Indonesia akan mulai mengimplementasikan panduan baru ini di bulan Januari 2016 sebagai percobaan.

Bahas