Saat (dan setelah) kampanye presidennya tahun lalu, Joko Widodo berkali-kali menekankan pentingnya investasi Pemerintah dan swasta untuk infrastruktur Indonesia. Negara ini membutuhkan infrastruktur keras (seperti jalan-jalan, pembangkit listrik, pelabuhan dan bandara) dan infrastruktur halus (seperti layanan kesehatan). Widodo memenuhi janjinya dengan menghapus (sebagian besar) subsidi bahan bakar di Indonesia pada bulan Januari 2015. Ini adalah reformasi yang relatif mudah pada awal tahun ini karena harga minyak mentah dunia yang rendah. Namun, sejak Januari harga minyak mentah dunia mulai pulih dan kini menyebabkan tekanan inflasi tambahan di negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini.

Dengan memotong subsidi bahan bakar secara drastis, Pemerintah Indonesia bisa mengalokasikan dana yang lebih besar untuk belanja infrastruktur di Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2014. APBN-P mengalokasikan sekitar Rp 290 triliun untuk belanja infrastruktur. Meskipun begitu, perlu waktu sampai Februari 2015 sebelum APBN-P ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hal ini menyebabkan penundaaan realisasi belanja infrastruktur. Terlebih lagi, meskipun memiliki lebih banyak sumberdaya keuangan untuk digunakan, Pemerintah Indonesia sangat bergantung pada partisipasi sektor swasta karena diperkirakan Indonesia membutuhkan investasi bernilai total Rp 5.519,4 triliun untuk mendukung pembangunan infrastruktur di lima tahun ke depan. Oleh karena itu, iklim investasi domestik perlu diperbaiki dalam rangka menarik investasi langsung (asing dan domestik).

Karena hanya ada sedikit tanda-tanda dari percepatan pembangunan infrastruktur di enam bulan pertama pemerintahan Widodo, kritik mulai bermunculan. Namun setelah awal yang lambat, pembangunan kemungkinan akan segera dimulai. Ini adalah berita baik untuk perekonomian Indonesia yang membutuhkan stimulus untuk menghentikan perlambatan perekonomian. Sejak 2011, perekonomian Indonesia telah melambat karena perlambatan perekonomian global (menyebabkan harga-harga komoditi yang rendah dan performa ekspor Indonesia yang lemah) dan tingkat suku bunga yang tinggi di Indonesia yang telah menurunkan daya beli masyarakat dan menyebabkan pengurangan konsumsi domestik. Namun, tingkat suku bunga yang tinggi ini dibutuhkan untuk melawan sejumlah kelemahan (seperti inflasi tinggi, defisit transaksi berjalan yang lebar, dan untuk mendukung rupiah yang melemah). Belanja infrastruktur yang semakin cepat diprediksi untuk menyebabkan efek multiplier di perekonomian (karena industri-industri yang berkaitan akan bertumbuh sejalan dengan itu) dan kemudian akan mendongkrak seluruh perekonomian. Sementara itu, pembangunan infrastruktur membutuhkan waktu dan karenanya mungkin terlalu cepat untuk melihat kenaikan cepat perekonomian pada tahun ini dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun lalu yaitu 5,02% pada basis year-on-year (y/y).

Data terakhir dari Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa lebih dari 90% proyek-proyek infrastruktur yang direncanakan di Indonesia kini telah ditender, dengan lebih dari 50% kontrak proyek telah ditandatangani. Kementerian ini menerima sekitar 40% dari APBN-P 2015 (22 miliar dollar AS). Per Mei 2015, Kementerian Pekerjaan Umum hanya membelanjakan 9% dari anggarannya. Meskipun begitu, ini adalah hal yang biasa karena belanja Pemerintah secara tradisional bergerak cepat menjelang akhir tahun.

Proyek-Proyek Infrastruktur Indonesia (persentase dari proyek-proyek yang ditargetkan):

Meskipun begitu, kurangnya sumberdaya keuangan bukan satu-satunya masalah dalam pengembangan infrastruktur di Indonesia. Birokrasi berlebihan dan kesulitan untuk mendapatkan tanah juga menjadi halangan yang serius.

Bahas