Rupiah mencapai level terendah (terhadap dollar AS) sejak Agustus 1998, sebuah masa ketika Krisis Finansial Asia meninggalkan luka-luka dalam pada negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini. Pada saat itu, krisis finansial berubah menjadi krisis sosial dan politik dan karena itu nilai rupiah pada saat ini mengembalikan kenangan menyakitkan untuk sejumlah orang (termasuk masyarakat umum, para pengusaha, dan para pembuat kebijakan). Sejauh ini di tahun 2015, rupiah adalah mata uang Asia dengan performa terburuk terhadap dollar AS, melemah mendekati 5%.

Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan dari BI (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) melemah 0,46% ke Rp 13,022 per dollar AS pada hari Kamis (05/03).

Rupiah Indonesia versus Dollar AS:

| Source: Bank Indonesia

Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan bahwa rupiah masih dalam kondisi sehat dan trendnya yang melemah bukanlah akibat dari masalah-masalah keuangan internal namun lebih sebagai akibat dari momentum penguatan dollar AS di seluruh dunia. Meskipun ada fakta dalam pernyataannya, penting untuk mengingat bahwa Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan yang besar. Hal ini membuat negara ini rentan terhadap capital outflows di tengah guncangan-guncangan global (seperti suku bunga pinjaman AS yang lebih tinggi yang diduga akan diimplementasikan di tahun ini). Pada tahun ini defisit transaksi berjalan Indonesia diduga akan mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).

Pada hari Kamis (05/03), dollar AS menguat terhadap kebanyakan mata uang di dunia karena US Automatic Data Processing (ADP) menunjukkan bahwa sektor swasta menambahkan 212.000 pekerjaan baru untuk ekonomi AS pada Februari 2015 (turun dari 250.000 di bulan sebelumnya), US non-manufacturing purchasing manager's index naik menjadi 56,9 di Februari, dan peningkatan yield obligasi AS selama beberapa hari terakhir ini (di tengah likuiditas yang meningkat di Jepang dan Uni Eropa karena bank-bank sentral menerapkan kebijakan moneter yang lebih longgar untuk mendorong perekonomian mereka). Faktor lain yang mungkin juga berperan (menempatkan lebih banyak tekanan untuk melemahkan nilai rupiah) adalah bahwa BI diduga akan menurunkan suku bunga acuannya (BI rate) lebih lanjut pada tahun ini. Di pertengahan Februari, bank sentral Indonesia mengambil tindakan yang mengejutkan dengan memotong BI rate sebanyak 25 basis point menjadi 7,50%. Ekspektasi akan pemotongan lebih lanjut dari suku bunga pinjaman mendorong para pelaku pasar yang punya investasi-investasi jangka pendek untuk keluar dari aset-aset dengan mata uang rupiah.

Menteri Keuangan Indonesia Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa pasar (dan para analis) seharusnya tidak hanya melihat performa dari rupiah versus dollar AS, yang mengalami momentum penguatan di tengah ancaman pengetatan moneter AS lebih lanjut, namun juga mempertimbangkan performa rupiah terhadap mata uang-mata uang global yang lain. Brodjonegoro menambahkan bahwa salah satu isu kunci untuk mengatasi pelemahan rupiah adalah dengan memperbaiki defisit transaksi berjalan. Faktanya, dengan rupiah yang melemah, neraca perdagangan Indonesia seharusnya secara otomatis membaik karena barang-barang impor menjadi relatif mahal sementara barang-barang ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar global. Contohnya, para eksportir tekstil Indonesia merasakan dampak positif dari melemahnya rupiah karena mereka menjual produk mereka dengan dollar AS. Benny Soetrisno, pejabat Kantor Dagang dan Industri (Kadin), mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan tekstil ini bisa mengimbangi biaya operasional yang lebih tinggi (karena jumlah gaji minimum yang meningkat) dengan untung dari selisih kurs dari penjualan ke luar negeri.

Sementara itu, Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara mengatakan bahwa nilai tukar rupiah yang relatif lemah tidak akan memberi dampak signifikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia karena sebagian besar subsidi bahan bakar minyak telah dipotong (dimungkinkan oleh harga minyak dunia yang rendah). Sebelum biaya subsidi bahan bakar diturunkan, Pemerintah mengalami dampak besar akibat melemahnya rupiah (terhadap dollar AS) karena biaya impor minyak dibayar dengan dollar AS. Adityaswara menambahkan bahwa permintaan dollar AS dari perusahaan-perusahaan domestik berkontribusi pada pelemahan nilai rupiah baru-baru ini.

Diperkirakan bahwa para investor akan mulai merugi ketika rupiah menyentuh Rp 13,100 per dollar AS karena rugi dari pelemahan rupiah melebihi untung dari aset-aset Indonesia.

Bahas