Pemilihan Umum 2004

Pemilu Legislatif

Pada bulan April tahun 2004, sekitar 84 persen dari pemilih Indonesia (atau sekitar 113.5 juta orang) memberikan suara mereka untuk pemilihan legislatif nasional. Kontras dengan Pemilu tahun 1999, kali ini Indonesia bisa memilih kandidat tertentu dari partai yang membawa elemen yang lebih personal dalam pemilihan ini.

Dalam pemilihan ini, dua partai terbesar dari pemilu sebelumnya, yaitu PDI-P beserta Golkar, kehilangan mayoritas mutlak mereka. PDI-P jatuh - sesuai dengan dugaan - dari 34 persen menjadi 19 persen karena rakyat Indonesia tidak puas dengan kinerja Megawati sebagai presiden. Dia tampaknya kurang memiliki visi dan kepemimpinan, sementara korupsi dalam partainya tumbuh. Golkar, yang telah terbukti mampu bertahan tanpa dukungan dari Suharto dan TNI, mempertahankan bagian suaranya (22 persen), meski Golkar mengharapkan untuk mendapat lebih banyak suara.

Namun dua pendatang baru, keduanya tidak ikut dalam pemilu 1999, menarik perhatian. Yang pertama adakah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang menempatkan penekanan besar pada peran Islam dalam kehidupan publik. Partai ini menerima tujuh persen suara dalam Pemilu 2004. Yang kedua adalah Partai Demokrat (PD). Partai ini adalah kendaraan politik Susilo Bambang Yudhoyono (sering disebut sebagai SBY), Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dalam kabinet Megawati. Yudhoyono berharap untuk menjadi wakil presiden pada tahun 2001 namun kalah dengan Hamzah Haz.

Memiliki aspirasi politik pribadi yang tinggi dan didukung sekelompok kecil intelektual di sekelilingnya (yang mendirikan PD terutama untuk dia), Yudhoyono tampaknya menjadi calon presiden yang kuat untuk Pemilu 2004. Hal ini mengusik Megawati dan menyebabkan keretakan di antara keduanya. Pada awal 2004, Yudhoyono meninggalkan kabinet Megawati, keputusan yang sebenarnya membuatnya bahkan lebih populer. PD menerima lebih dari tujuh persen suara, memungkinkan Yudhoyono untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden tahun 2004 (sebuah partai membutuhkan minimal lima persen untuk diizinkan menominasikan calon presiden).

Pemilu Legislatif Indonesia 2004

  2004 1999
PDI-P  19%   34%
Golkar  22%   22%
PKB  11%   13%
PPP   8%   11%
PD   7%     -
PKS   7%     -

Pemilihan Umum Presiden

Pada bulan Juli 2004, masyarakat Indonesia pergi ke kotak suara untuk pemilihan presiden. Pemenang pemilu ini membutuhkan mayoritas mutlak, karena itu tampaknya kemungkinan besar bahwa putaran kedua akan diperlukan di mana dua kandidat dengan suara terbanyak dari putaran pertama bersaing satu sama lain.

Karena fakta bahwa presiden dan wakil presiden berpartisipasi dalam pemilu ini sebagai pasangan yang tak terpisahkan, komposisinya menjadi kepentingan strategis. Yudhoyono (PD), memimpin dalam survei dan pol opini, bekerja sama dengan Jusuf Kalla (pengusaha dari Indonesia Timur). Megawati (PDI-P) dipasangkan dengan Hasyim Muzadi (ketua Nahdlatul Ulama). Pasangan lain yang tampaknya memiliki kesempatan, meskipun kecil, adalah Wiranto (mantan jenderal  Angkatan Darat, dicalonkan oleh Golkar) yang bergabung dengan Sallahudin Wahid (wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia).

Dengan 33.5 persen suara, kurang dari yang diharapkan, Yudhoyono dan Kalla menjadi pemenang dari putaran pertama. Pada tempat kedua, dengan demikian berhak untuk bersaing di putaran kedua, adalah pasangan Megawati-Muzadi yang menerima 26.5 persen suara. Seperti yang diduga, putaran kedua itu dengan mudah dimenangkan oleh Yudhoyono dengan mayoritas mutlak 60.5 persen kemudian ia dilantik sebagai presiden baru Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004.

Pemilu Presiden Indonesia 2004:

     2004
(1st round)
     2004
(2nd round)
Yudhoyono,
Kalla
    33.5%     60.5%
Megawati,
Muzadi
    26.5%     39.5%
Wiranto,
Wahid
    22.0%         -
Rais,
Yudho Husodo
    14.5%         -
Haz,
Gumelar
     3.0%         -

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono I (2004-2009)

Partai Demokrat (PD) terutama didirikan sebagai kendaraan politik Yudhoyono untuk menjadi presiden Indonesia. Partai ini mengkampanyekan demokrasi, pluralisme dan profesionalisasi tentara (Yudhoyono sendiri  pensiunan jenderal TNI). Tetapi politik bukan sesuatu yang baru untuk Yudhoyono yang menjadi kepala staf untuk urusan sosial-politik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1997. Di posisi ini Yudhoyono menunjukkan sikap reformis ketika ia mempresentasikan 'Paradigma Baru' yang menyerukan diakhirinya keterlibatan langsung TNI dalam bidang politik (melalui penarikan bertahap dari parlemen nasional dan regional) dan menyerukan pemisahan antara tentara dan polisi (pemisahan ini akhirnya diputuskan pada masa kepresidenan Habibie dan berlaku efektif selama pemerintahan Wahid).

Yudhoyono kemudian menjadi Menteri Pertambangan dan Energi selama masa Presiden Wahid dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan selama masa Presiden Megawati. Dalam kedua kasus, keretakan hubungan dengan presiden menyebabkan ia diberhentikan dengan segera. Namun, dia tetap menikmati popularitas di kalangan masyarakat Indonesia karena ide-ide reformisnya, mediasi suksesnya di sejumlah konflik kekerasan daerah, dan catatan hidupnya yang bersih korupsi (korupsi sebenarnya merupakan elemen penting dalam kampanyenya sebelum pemilihan).

Sejak awal harapan untuk masa kepresidenannya yang sangat tinggi. Yudhoyono, yang dianggap sebagai karakter yang kuat dan seimbang, memasuki Istana Presiden dengan cita-cita reformis ambisius seperti menghancurkan korupsi dan terorisme, penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Tentunya ambisinya - secara realistis - terlalu tinggi sebab Indonesia adalah negara yang sulit untuk direformasi dalam jangka waktu beberapa tahun. Birokrasi yang lambat dan tidak efisien, kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan dalam masyarakat dan korupsi yang terus menyebar luas (terutama di daerah) membuatnya susah untuk menerapkan kebijakan secara efektif. Seperti yang dijanjikan selama periode kampanye, sekitar separoh dari menteri kabinet Yudhoyono terdiri dari profesional non-partisan (teknokrat), terutama pada posisi yang menyangkut ekonomi, dalam rangka mendorong profesionalisasi.

Masa kepresidenan Yudhoyono juga ditandai dengan bencana menyebabkan beberapa orang menyebut Yudhoyono sebagai 'Presiden bencana'. Bencana alam yang paling terkenal adalah tsunami mengerikan di Aceh yang menewaskan lebih dari 200.000 orang di Aceh pada tahun 2004. Bencana-bencana lainnya adalah gempa bumi di Bantul (Daerah Istimewa Jogjakarta) pada tahun 2006 yang menewaskan 6.000 orang, semburan lumpur di Sidoarjo (yang merusak ratusan hektar di Jawa Timur dan menyebabkan evakuasi ribuan orang), sejumlah banjir di Jakarta yang memicu evakuasi sekitar setengah juta orang pada tahun 2007 dan, terakhir, letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 yang menewaskan 353 orang dan menyebabkan evakuasi 350.000 orang.

Prestasi baik dari pemerintahan Yudhoyono berhubungan dengan fundamental makroekonomi: utang luar negeri Indonesia menurun secara mengesankan, cadangan devisa meningkat dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan solid. Fundamental-fundamental ini kuat - didukung oleh boom komoditas pada tahun 2000-an dan meningkatnya daya beli secara cepat - membuat Indonesia berhasil melalui krisis global 2008-2009 tanpa masalah yang berarti.

Pemilihan Umum 2009

Pemilu Legislatif

Pemilu legislatif untuk DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) baru, yang diselenggarakan pada tanggal 9 April 2009, jelas membuktikan kemenangan besar Partai Demokrat (PD) Yudhoyono (20.8 persen), sementara Golkar berada di posisi kedua (14.4 persen) dan PDI-P ketiga (14.0 persen). Faktor-faktor yang memberikan kontribusi untuk kemenangan PD ini adalah program uang tunai yang besar untuk masyarakat miskin dan penurunan harga pangan dan bahan bakar yang berkontribusi pada persepsi bahwa perekonomian nasional berkinerja baik. Masyarakat juga menganggap Yudhoyono bersungguh-sungguh dalam menghancurkan korupsi; PD dikenal sebagai partai politik dengan tingkat korupsi terendah.

Sebuah partai (atau sebuah koalisi partai-partai) yang memenangkan lebih dari 112 kursi (sama dengan dua puluh persen) dari 560 kursi DPR atau memenangkan setidaknya 25 persen dari suara nasional diizinkan untuk menominasikan calon presiden. Hal ini menempatkan Yudhoyono dalam posisi yang kuat untuk pemilihan presiden mendatang. Beberapa kontroversi muncul mengenai ambang batas parlemen yang baru ditetapkan yang menyatakan hanya partai-partai yang menerima lebih dari 2.5 persen dari suara rakyat bisa mendapatkan kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Ini membawa kerugian besar bagi partai-partai kecil.

Hasil yang menarik dalam pemilihan legislatif 2009 ini adalah meningkatnya preferensi untuk partai-partai sekuler-nasionalis dibandingkan partai-partai yang berwarna Islam. Gabungan total suara partai-partai Islam ini hanya mencapai 27.8 persen, menunjukkan tren penurunan yang terus-menerus dibandingkan dengan pemilu sebelumnya (38.1 persen pada tahun 2004).

Pemilu Legislatif Indonesia 2009:

  2009 2004 1999
PD 20.8%  7.5%     -
Golkar 14.5% 21.6% 22.4%
PDI-P 14.0% 18.5% 33.7%
PKS  7.9%  7.3%  1.4%
PAN  6.0%  6.4%  7.1%

Pemilu Presiden

Ada tiga pasangan yang bersaing untuk posisi presiden dan wakil presiden dalam pemilihan presiden tahun. Pertama-tama Presiden Yudhoyono yang sedang menjabat dengan PD yang telah memenangkan pemilu legislatif dan berhak untuk mencalonkan diri dalam satu periode lagi sebagai presiden Indonesia. Dia memilih Boediono sebagai mitranya untuk wakil presiden. Boediono, seorang ekonom, tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu dan sebelumnya menjadi Gubernur Bank Indonesia (bank sentral) dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada kabinet pertama Yudhoyono.

Pasangan kedua yang bersaing untuk posisi kepresidenan adalah Jusuf Kalla dari Partai Golkar (mantan wakil presiden Yudhoyono) yang memilih mantan jenderal angkatan darat Wiranto (yang pernah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur). Dan terakhir, Megawati Sukarnoputri kembali ikut bersaing. Kali ini ia memilih Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden. Prabowo, juga mantan jenderal Angkatan Darat, adalah mantan menantu Suharto. Apalagi dia diyakini bertanggung jawab atas kekerasan terhadap kaum intelektual dan mahasiswa yang anti-Suharto, kekerasan anti etnis Tionghoa di Jakarta (saat kerusuhan pada 1998) dan juga terkait pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur.

Tanpa membutuhkan putaran kedua kali ini, Yudhoyono dan Boediono memenangkan pemilihan presiden dengan mayoritas mutlak (60.8 persen). Dunia internasional menganggap kemenangan ini sebagai hal penting demi menjaga stabilitas politik di Indonesia. Pasangan Megawati-Prabowo menerima 26.8 persen suara, sementara Kalla-Wiranto berada di posisi ketiga dengan 12.1 persen.

Pemilu Presiden Indonesia 2009:

   2009
Yudhoyono,
Boediono
60.8%
Megawati,
Prabowo
26.8%
Kalla,
Wiranto
12.1%

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono II (2009-2014)

Pada tanggal 22 Oktober 2009, berlangsung pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu II. Kabinet ini adalah koalisi antara PD, Golkar dan empat partai Islam PKS, PAN, PKB dan PPP. Selain menunjuk menteri dari enam mitra koalisi tersebut, Presiden Yudhoyono juga menempatkan beberapa profesional (tokoh-tokoh non-partisan atau teknokrat) pada posisi-posisi kementerian kunci seperti kementerian dalam negeri, luar negeri, keuangan, perdagangan, pendidikan nasional, dan kesehatan. Hanya dua mantan jenderal TNI saja yang ditunjuk sebagai menteri dalam kabinet ini.

Kendati kinerja makroekonomi kuat, dukungan rakyat untuk Yudhoyono mulai terkikis. Yudhoyono tidak memenuhi harapan mengenai pemberantasan korupsi, yang pernah menjadi slogan kampanye penting dari partainya. kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan pejabat-pejabat pemerintahan menjadi berita utama secara rutin. Lebih parah lagi, PD sendiri jadi sangat terlibat dalam skandal korupsi ketika beberapa anggotanya, termasuk Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, dituduh dan diadili untuk kasus korupsi Southeast Asian Games 2011. Diduga dalam even olahraga ini, uang suap telah dibayar sehubungan dengan pembangunan perkampungan atlet.

Kemudian, Ketua PD Anas Urbaningrum ditangkap dan dijatuhi hukuman delapan tahun penjara karena menerima suap terkait dengan pembangunan kompleks olahraga Hambalang di Jawa Barat. Skandal ini - semakin mendekat pada Yudhoyono - sangat merusakkan popularitas Yudhoyono maupun partainya.

Tiga menteri pemerintahan Yudhoyono juga ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara. Mereka adalah Andi Mallarangeng (Menteri Olahraga dan Pemuda), Jero Wacik (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Suryadharma Ali (Menteri Agama). Selain itu, diperkirakan bahwa sekitar 300 pejabat pemerintah daerah diselidiki karena kasus korupsi selama periode kedua Yudhoyono, yang mengindikasikan luasnya korupsi di kalangan pemerintahan dan kegagalan Yudhoyono untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Menurut opini publik pada umumnya munculnya kasus-kasus korupsi dalam PD adalah tanda lemahnya kepemimpinan Yudhoyono. Apalagi, Yudhoyono juga dianggap bertindak lemah berhubungan dengan hal lain. Banyak orang Indonesia yang pro-reformasi kecewa ketika Yudhoyono tidak mendukung Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang reformis dan sangat dihormati ketika dia - bersama dengan Wakil Presiden Boediono - dikritik karena kesalahan penanganan kasus bailout Bank Century pada tahun 2008. Sri Mulyani kemudian mundur dari jabatannya dan pindah ke Bank Dunia untuk mulai bekerja sebagai managing director. Kendati begitu, kebanyakan orang menganggap bahwa kepergiannya terhubung dengan tekanan dari kekuatan-kekuatan politik tertentu yang memiliki kepentingan-kepentingan bisnis besar karena kebijakan reformisnya telah menyebabkan konflik dengan kepentingan-kepentingan ini.

Kelemahan lain dalam kepemimpinan Yudhoyono berkaitan dengan kecamannya yang lambat dan tidak meyakinkan terhadap serangan kekerasan pada penganut agama-agama minoritas, seperti pembunuhan Ahmadiyah pada Februari 2011 ketika gerombolan orang yang mengatasnamakan Islam membunuh beberapa anggota sekte Ahmadiyah lokal yang kecil di Provinsi Banten.

Kendati diawali dengan menjanjikan, pemerintahan satu dekade Yudhoyono sekarang dianggap sebagai periode kesempatan-kesempatan yang hilang (missed opportunities). Yudhoyono menikmati dukungan besar di parlemen (di periode kedua) tetapi dia gagal untuk mendorong reformasi struktural yang sangat dibutuhkan (misalnya penghapusan subsidi bahan bakar minyak). Di satu sisi, Yudhoyono dikritik karena tidak tegas dan terlalu berusaha untuk berteman dengan semua pihak dan aliran masyarakat tetapi di sisi lain gaya kepemipinannya berhasil meningkatkan stabilitas politik dan ekonomi Indonesia dan karenanya meletakkan dasar yang kuat bagi orang lain untuk membangun negaranya.

Poll Indonesia Investments:

Who would you vote for in Indonesia's 2019 presidential election?

Voting possible:  -

Results

  • Joko Widodo (57.6%)
  • Prabowo Subianto (31.9%)
  • No opinion (5.7%)
  • Someone else (4.8%)

Total amount of votes: 16331