Kendati terdapat fakta bahwa wilayah Asia Timur bisa diuntungkan karena rendahnya harga minyak mentah dunia (wilayah ini adalah importir minyak netto), perlambatan pertumbuhan di RRT - negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia - mempengaruhi keadaan ekonomi wilayah ini. Permintaan berbagai komoditi dari RRT tetap lambat dan karenanya menciderai performa ekspor dari beberapa negara Asia Tenggara. RRT pada saat ini mengalami transisi dari perekonomian yang didorong oleh ekspor menjadi perekonomian yang didorong oleh konsumsi domestik. Para pembuat kebijakan RRT bertekad untuk mengatasi kerentanan-kerentanan finansial dan mencitakan lingkungan hidup yang lebih stabil.

Pertumbuhan investasi dan manufaktur di RRT diprediksi akan melambat karena implementasi tindakan-tindakan untuk mengatasi hutan pemerintah, melawan shadow banking, mengurangi kelebihan kapasitas, mengurangi kebutuhan energi, dan mengontrol polusi. Sebagai salah satu catatan positif, stimulus moneter diprediksi akan mengurangi dampak dari faktor-faktor yang telah disebutkan. Bank sentral RRT telah memotong suku bunga dua kali sejak November 2014 dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang telah menyentuh level pertumbuhan terlambatnya dalam dua dekade terakhir.

Bank Dunia memprediksi perekonomian RRT untuk bertumbuh 7,1% (y/y) di 2015 dan 7,0 (y/y) di 2016. Pada tahun 2014 perekonomian RRT bertumbuh 7,4% (y/y). Maka, prediksi Bank Dunia menunjukkan bahwa perlambatan kecepatan pertumbuhan RRT akan berlanjut. Terlebih lagi, institusi yang bermarkas di Washington ini menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi karena institusi ini sebelumnya memprediksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,2% (y/y) di 2015 dan 7,1% (y/y) di 2016.

Gambaran Pertumbuhan Negara-Negara Berkembang Asia Timur (Kecuali RRT) Lebih Optimis

Kendati begitu, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang Asia Timur lainnya diprediksi akan meningkat 0,5% menjadi 5,1% (y/y) dan 5,4% (y/y) di 2016 karena rendahnya harga energi akan meningkatkan permintaan di wilayah Asia Tenggara. Harga energi yang rendah menyediakan kesempatan yang unik bagi para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang untuk mendorong reformasi fiskal dan struktural yang akan menaikkan pendapatan dan mereorientasi belanja publik untuk infrakstruktur dan fungsi-fungsi produktif lainnya dan karenanya meningkatkan daya saing wilayah ini. Namun, Bank Dunia menekankan bahwa dampak dari harga minyak mentah yang rendah ini bervariasi di masing-masing negara. Contohnya, Malaysia, eksportir minyak terbesar di wilayah ini, diprediksi akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi di 2015 karena harga minyak mentah yang rendah menjadi pukulan bagi belanja modal di sektor energi. Sementara itu, konsumsi swasta di negara ini kemungkinan akan menurun karena implementasi pajak barang dan jasa di April 2015.

Bank Dunia memprediksi bahwa negara-negara dengan perekonomian berkembang di Asia Timur yaitu Kamboja, Laos, Filipina, Thailand, dan negara-negara Kepulauan Pasifik akan menjadi yang paling diuntungkan karena rendahnya harga minyak dunia.

Bank Dunia menekankan bahwa ancaman pengetatan moneter lebih lanjut di AS (suku bunga AS yang lebih tinggi) dan momentum bullish dollar mengimplikasikan ketidakpastian dan volatilitas yang sangat besar di perekonomian global, dan karenanya mengimplikasikan risiko-risiko yang signifikan untuk pasar negara-negara berkembang di Asia Timur dan Asia Tenggara. Capital inflow di pasar negara-negara berkembang ini kemungkinan menurun lebih tajam dibandingkan perkiraan sebelumnya.

Sementara itu, kenaikan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang-mata uang lain bisa menciderai negara-negara yang sangat banyak menggunakan dollar AS seperti Kamboja dan Timor-Leste. Untuk mengatasi risiko ini, Bank Dunia menyarankan memperbaiki kebijakan fiskal di negara-negara rentan ini.

Bank Dunia memotong prediksi pertumbuhan ekonomi untuk Indonesia menjadi 5,2% (y/y), 0,4% lebih rendah dibandingkan proyeksi di Oktober.

Temuan-Temuan Kunci

Pertumbuhan ekonomi akan sedikit berkurang di negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik pada tahun ini, meskipun wilayah ini mendapatkan keuntungan dari rendahnya harga minyak dan kelanjutan pemulihan perekonomian di negara-negara maju.

Wilayah ini akan tetap mengkontribusikan sepertiga dari pertumbuhan global, dua kali lipat dari kontribusi seluruh wilayah negara-negara berkembang lainnya.

Negara-negara berkembang di Asia Timur diproyeksikan akan bertumbuh 6,7% di 2015 dan 2016, sedikit menurun dari 6,9% di 2014.

Pertumbuhan RRT diprediksi akan menurun menjadi sekitar 7% dalam dua tahun ke depan, menurun dari 7,4% di 2014.

Pertumbuhan di negara-negara berkembang Asia Timur lainnya diprediksi akan meningkat sebanyak 0,5% menjadi 5,1% pada tahun ini, sebagian besar didorong karena permintaan domestik di negara-negara dengan perekonomian besar di Asia Tenggara.

Beberapa negara dengan perekonomian yang lebih kecil, terutama negara-negara eksportir komoditi seperti Mongolia, akan mengalami pertumbuhan yang lebih rendah.

Harga minyak yang rendah akan paling menguntungkan negara-negara berkembang di Asia Timur, terutama Kamboja, Laos, Filipina, Thailand, dan negara-negara Kepulauan Pasifik.

Selain negara-negara eksportir netto bahan bakar di wilayah ini, termasuk Malaysia dan Papua New Guinea, yang akan mengalami pertumbuhan lebih lambat dan pemasukan Pemerintah yang lebih rendah.

Di Indonesia, dampak netto pada pertumbuhan akan tergantung pada besarnya penurunan pemasukan untuk para eksportir batubara dan gas.

Pemulihan di negara-negara berpendapatan tinggi terus bergerak lambat dan tidak seimbang, dan penurunan perekonomian di Uni Eropa dan Jepang akan melemahkan perdagangan global.

Suku bunga AS yang lebih tinggi dan kenaikan nilai dollar AS, bersama dengan perbedaan jalur kebijakan moneter dari negara-negara dengan perekonomian maju, bisa meningkatkan biaya peminjaman, menyebabkan volatilitas finansial dan mengurangi aliran modal ke Asia Timur.

Penguatan dollar AS yang terus berlanjut terhadap mata uang-mata uang unggulan lainnya bisa menciderai negara-negara yang sangat banyak menggunakan dollar AS seperti Kamboja dan Timor-Leste.

Untuk menangani risiko-risiko ini, kuncinya adalah mengembangkan perekonomian fiskal. Dengan harga minyak yang rendah, negara-negara - baik importir maupun eksportir minyak - seharusnya mereformasi biaya energi untuk mendorong kebijakan-kebijakan fiskal yang lebih berkelanjutan dan adil.

Di kebanyakan negara-negara dengan perekonomian yang lebih besar di Asia Tenggara, usaha-usaha untuk meningkakan pendapatan dan merestrukturisasi belanja bisa membantu mengisi kesenjangan di investasi infrastruktur dan menciptakan lebih banyak dana untuk program-program perlindungan sosial dan asuransi.

Di negara-negara pengekspor bahan bakar dalam jumlah besar dan Mongolia, konsolidasi fiskal dibutuhkan.

Harga minyak yang lebih rendah menciptakan kesempatan bagi Pemerintah negara-negara untuk mengurangi subsidi bahan bakar dan meningkatkan pajak energi. Di banyak bagian dari wilayah ini, subsidi bahan bakar dan pengeluaran pajak yang berkaitan dengannya menekan keuangan publik dan melemahkan transaksi berjalan.

Beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, baru-baru ini mengambil langkah-langkah untuk memotong subsidi bahan bakar, namun momentum ini perlu dipertahankan dan diperluas, bahkan ketika harga minyak mulai pulih.

Di RRT, karena model pertumbuhan perekonomian negara ini berubah menjadi didorong oleh konsumsi, lebih dari didorong oleh investasi, tantangan utamanya adalah mengimplementasikan reformasi yang yang akan memastikan pertumbuhan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kebijakan-kebijakan untuk memacu pertumbuhan, laporan ini menyampaikan, seharusnya mendorong usaha-usaha restrukturisasi.

Dalam jangka waktu menengah, laporan ini mengatakan, negara-negara seharusnya memperbesar dan meningkatkan infrastruktur fisik dan meningkatkan akses publik untuk pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan.

Dalam jangka panjang, negara-negara akan perlu menemukan cara untuk menjaga pertumbuhan produktivitas, mencakup biaya layanan kesehatan dan memperluas basis pemasukan untuk jaminan sosial.

Lanjut Baca:

World Bank Report East Asia Pacific Economic Update (April 2015)
Developing East Asia Pacific Growth Remains Robust in 2015

Bahas