Jika dibandingkan dengan kebanyakan negara lain, rasio hutang Indonesia terhadap PDB sangatlah sehat pada 27% dari PDB pada tahun 2015. Karena pengalaman traumatis selama Krisis Keuangan Asia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini telah menerapkan kebijakan fiskal dan keuangan yang hati-hati. Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa hutang Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia tidak boleh melebihi 60% dari PDB.

Langgeng Subur, seorang pejabat di Kementerian Keuangan Indonesia, mengatakan ada sejumlah indikator yang menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menjaga tingkat hutang yang sehat dan terkendali. Misalnya, rata-rata maturity hutang pemerintah saat ini aman pada 9,7 tahun. Selain itu, porsi hutang dalam rupiah telah meningkat menjadi 52,6% dari total sisa hutang, menyiratkan bahwa negara ini tidak terlalu rentan terhadap volatilitas nilai tukar rupiah. Terakhir, 86,2% dari total hutang memiliki tingkat bunga tetap, sehingga relatif aman dari penyesuaian tingkat suku bunga global.

Mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tahun 2015 dan 2016, Subur menambahkan bahwa perkembangan positif lain adalah bahwa hutang pemerintah sekarang digunakan dengan lebih produktif (misalnya untuk pembangunan infrastruktur) dan karenanya memiliki nilai tambah pada jangka panjang.

Namun, Direktur Eksekutif Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah perlu memperhatikan dengan seksama primary balance (yaitu pinjaman bersih atau pemberian pinjaman bersih Pemerintah, tidak termasuk pembayaran bunga atas liabilitas Pemerintah yang tekonsolidasi) karena bertumbuhnya defisit primary balance meningkatkan risiko gagal bayar. Hartati menambahkan bahwa tidak bijaksana untuk hanya melihat rasio hutang terhadap PDB untuk menentukan apakah situasi hutang aman. Sebagai contoh, negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang memiliki rasio hutang terhadap PDB lebih dari 100% namun masih dianggap stabil. Kuncinya adalah penggunaan hutang secara produktif.

Per 30 November 2015, defisit primary balance Indonesia tercatat sebesar Rp 177,6 triliun, naik 266% secara mengejutkan dari target yang ditetapkan dalam APBN 2015 (Rp 66,8 triliun) karena pengumpulan pajak lemah, sementara Pemerintah meningkatkan belanja.

Bahas