Sebelumnya, Indonesia bersikap sangat liberal tentang kepemilikan asing di sektor perbankan nasional karena memerlukan investasi yang sangat besar untuk mendukung sektor perbankan yang lemah selama dan setelah Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997-1998. Sektor perbankan nasional merupakan pusatnya Krismon akibat lemahnya pemantauan dan tingkat korupsi yang tinggi. Namun, selama beberapa tahun terakhir sektor perbankan Indonesia telah dinyatakan sebagai industri perbankan yang paling menguntungkan di dunia, tumbuh pada dua digit angka (pengembalian modal rata-rata/ROE dan marjin bunga netto rata-rata /NIM). Rancangan undang-undang baru tersebut juga menetapkan bahwa bank asing yang saat ini beroperasi di Indonesia di bawah status branch diwajibkan untuk menjadi badan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas, disingkat PT) dalam jangka waktu sepuluh tahun. Beberapa contoh adalah Deutsche Bank, HSBC Bank, Citibank JPMorgan Chase dan Standard Chartered.

Namun demikian, rancangan undang-undang baru tersebut masih memberikan ruang bagi kepemilikan asing di bank Indonesia lebih tinggi dari 40 persen. Berdasarkan rekam jejak bank asing (yang mencakup topik seperti manajemen perusahaan, modal dan kontribusi pada ekonomi Indonesia), parlemen Indonesia dan Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) berwenang untuk menentukan apakah investor asing diizinkan untuk memiliki kepemilikan lebih dari 40 persen. FKSSK adalah badan yang terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan

Di tahun 2012, bank sentral Indonesia (Bank Indonesia, BI) telah menetapkan kepemilikan maksimum asing di dalam bank komersil dalam negeri sebesar 40 persen untuk lembaga keuangan, 30 persen untuk perusahaan non-pembiayaan and 20 persen untuk perorangan. Namun demikian, berbeda halnya dari rancangan baru tersebut, peraturan ini tidak berlaku surut.

Rancangan undang-undang, yang akan sangat berdampak pada investasi di sektor perbankan Indonesia, akan dimasukkan di dalam rancangan prioritas undang-undang untuk diloloskan menjadi UU pada tahun 2015.

Sementara itu, otoritas Malaysia telah mengumumkan untuk mempermudah prosedur perizinan untuk pembukaan cabang lokal bank Indonesia di Malaysia. Walaupun tiga bank Malaysian - CIMB Niaga, BII Maybank and Maybank Syariah Indonesia - didirikan secara lokal di Indonesia, sangat berat untuk sebuah bank Indonesia untuk membuka cabang di Malaysia (sebagai contoh akibat besarnya modal yang ditetapkan oleh bank sentral Malaysia). Namun demikian, setelah Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak untuk membahas situasi ini, otoritas Malaysia mengumumkan untuk menyederhanakan peraturan untuk bank-bank Indonesia. Langkah ini adalah bagian integrasi jasa keuangan di negara ASEAN menyambut pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015.

Bahas