Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah melambat sejak tahun 2011 karena permintaan global yang lemah untuk berbagai komoditi (dan karenanya memberikan dampak negatif pada pendapatan ekspor Indonesia) dan tingkat suku bunga Indonesia yang tinggi. Bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) menaikkan suku bunga acuannya (BI rate) secara bertahan antara pertengahan tahun 2013 sampai akhir 2014 dari 5,75% menjadi 7,75% dalam usaha melawan inflasi yang tinggi (dipicu oleh kenaikan harga dua jenis bahan bakar bersubsidi), mengurangi defisi transaksi berjalan Indonesia yang besar, dan membatasi (ancaman) capital outflow yang dipicu oleh pengetatan moneter di AS. Akibatnya, pertumbuhan perekonomian Indonesia telah melambat mencapai level terendah selama lima tahun terakhir yaitu 5,02% pada basis year-on-year (y/y) di 2014.

Pada masa kampanye presidennya yang sukses, Joko Widodo, dilantik sebagai presiden ke-7 Indonesia di Oktober 2014, menjanjikan bahwa reformasi struktural akan mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke jalurnya. Melalui reformasi-reformasi struktural ini, pembangunan infastruktur yang dipercepat dan realisasi investasi seharusnya pertumbuhan PDB menjadi +7% pada akhir periode jabatan Widodo di 2019. Pada awalnya, para pelaku pasar sangat bersemangat karena Widodo mengambil alih kepemimpinan Indonesia. Kendati begitu, kira-kira setengah tahun setelah pelantikannya, pasar kini menyadari bahwa mereka terlalu optimis (mengenai percepatan perekonomian) dan menyadari bahwa Widodo tidak bisa melakukan keajaiban.

Meskipun memiliki pasar domestik yang dinamis (konsumsi domestik berkontribusi untuk sekitar 55% dari pertumbuhan ekonomi Indonesia), Indonesia tidak kebal terhadap gejolak perekonomian internasional, dan mendapatkan efek-efek akibat gejolak global. Rendahnya harga-harga komoditi dunia dan melemahnya nilai rupiah secara tajam (menyebabkan inflasi karena impor) mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, Widodo menargetkan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditi dan konsumsi rumah tangga, dan justru berfokus pada pembangunan infrastruktur dan realisasi investasi. Widodo melakukan awal yang menjanjikan dengan mengurangi belanja pemerintah untuk bahan bakar bersubsidi secara signifikan dan mengalihkan sejumlah besar dana tersebut untuk pembangunan infrastruktur yang sangat dibutuhkan.

Namun, akibat birokrasi yang berlebihan, lemahnya koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah, masalah-masalah pembebasan tanah yang terus terjadi, dan kurangnya sumber keuangan (karena sektor swasta ragu untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek infrastruktur yang ambisius) sebagian besar proyek belum juga dimulai pembangunannya. Waktu menghadiri upacara groundbreaking dari jalan tol Trans Sumatra di hari Kamis (30/04), Widodo mengakui bahwa ada sejumlah masalah yang menghalangi pembangunan infrastruktur pada awal masa jabatannya, termasuk kurangnya sumberdaya keuangan untuk membiayai proyek-proyek ini. Kendati begitu, setelah Anggaran Perencanaan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di February 2015, Widodo yakin bahwa pembangunan infrastruktur akan segera berlanjut.

Namun, keadaan semakin rumit karena para pelaku pasar ragu apakah anggaran fiskal Indonesia (yang disetujui di Februari 2015) memang realistis. Pemerintah pusat menargetkan kenaikan 30% untuk pemasukan pendapatan pajak di tahun ini dalam rangka mendapatkan dana untuk membiayai pengeluaran. Kendati begitu, di beberapa tahun terakhir, pendapatan pajak Indonesia hanya naik dengan kecepatan di bawah 10%. Ada prediksi bahwa pendapatan negara akan lebih sedikit dari prediksi sehingga pemerintah akan harus memotong belanja infrastruktur.

Mengenai tingkat suku bunga Indonesia yang relatif tinggi, Bank Indonesia (BI) membuat kejutan dengan memotong BI Rate sebanyak 0,25% (menjadi 7,50%) di Februari 2015 karena bank sentral yakin bahwa fundamental perekonomian Indonesia membaik dan karenanya akan memberikan pendorong untuk akselerasi perekonomian. Namun, akan dibutuhkan beberapa bulan sebelum tindakan ini memberikan dampak pada perekonomian. Terlebih lagi, pemotongan suku bunga 0,25% dianggap terlalu kecil untuk menyebabkan dampak nyata dan karenanya bisnis-bisnis Indonesia telah meminta Bank Indonesia untuk memotong kembali suku bunganya. Namun, kemungkinan besar bank sentral tidak akan memotong BI rate secara agresif karena inflasi mungkin akan naik menjadi 6,80% (y/y) di bulan April, sementara defisit transaksi berjalan tetap berada di sekitar 3% dari PDB (defisit yang besarnya menguatirkan). Terakhir, BI rate yang relatif tinggi bisa membatasi capital outflow (dari negara-negara ekonomi berkembang) yang diprediksi akan terjadi ketika Federal Reserve AS memutuskan menaikkan Fed Fund Rate yang menjadi acuannya (hal ini mungkin terjadi kuartal ke-3 atau ke-4 tahun ini).

Laporan Pendapatan Lemah Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)

Selama seminggu terakhir, perusahaan-perusahaan kunci Indonesia (yang terdaftar di BEI) menerbitkan laporan-laporan pendapatan perusahaan di kuartal 1 tahun 2015 yang lebih lemah dari dugaan. Perusahaan-perusahaan ini termasuk Astra International, Bank Mandiri, Indofood Sukses Makmur, dan Bank Central Asia (BCA).

Astra International, dianggap sebagai barometer perekonomian Indonesia karena keterlibatannya di sebagian besar sektor perekonomian, mencatat penurunan 15,6% untuk laba bersih di kuartal 1 tahun 2015 dan penurunan 9% untuk pendapatan perusahaan dibandingkan dengan kuartal yang sama di tahun 2014 karena rendahnya pendapatan dari bisnis-bisnis yang berkaitan dengan komoditi dan otomotif.

Bank Central Asia, pemberi pinjaman terbesar ketiga di Indonesia dari segi aset, mencatat perlambatan pertumbuhan laba bersih menjadi 11% di kuartal 1 tahun 2015, secara signifikan lebih rendah dari kecepatan poin pertumbuhan 27% yang dicatat di kuartal 1 tahun 2014 dan 2013. Perlambatan pertumbuhan keuntungan BCA disebabkan karena perlambatan aktivitas-aktivitas bisnis di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara (mengakibatkan minat domestik yang lemah terhadap pinjaman bank). Serupa dengan hal itu, Bank Mandiri, pemberi pinjaman terbesar Indonesia dari segi aset, hanya mencatat kenaikan 4% (y/y) di kuartal 1 tahun 2015, turun dari angka pertumbuhan 14% (y/y) di kuartal yang sama di tahun lalu. Bank Mandiri, yang 60% sahamnya dimiliki negara, kini bergantung pada proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan pinjaman di sisa tahun 2015.

Indofood Sukses Makmur, perusahaan makanan olahan terbesar di Indonesia dan produsen mie instan global yang unggul, mencatat penurunan keuntungan sebesar 37% (y/y) di kuartal 1 tahun 2015 karena melemahnya daya beli masyarakat dan nilai tukar rupiah.

Terlebih lagi, data-data lain menandakan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia terus melambat pada awal 2015. Contohnya, penjualan semen (-3%), penjualan mobil (-14%) dan penjualan motor (-19%) semuanya jatuh di kuartal 1 dibandingkan dengan kuartal yang sama di tahun lalu. Penjualan semen, mobil, dan motor adalah angka-angka penting untuk menyediakan informasi mengenai kepercayaan konsumen, daya beli masyarakat dan pembangunan infrastruktur (dan properti).

Karena kekuatiran-kekuatiran para investor mengenai penurunan perekonomian Indonesia lebih lanjut di kuartal 1 tahun 2015, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh 6,4% selama seminggu terakhir dan menjadikan Indonesia sebagai pasar negara berkembang dengan performa terburuk di Asia selama tahun 2015. Diduga bahwa banyak investor telah menjual saham-saham Indonesia dan menginvestasikan keuntungan di saham-saham Republik Rakyat Tionghoa (RRT), Korea dan Taiwan (pasar-pasar saham di India dan Filipina juga dibebani perubahan keadaan yang sama).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):

Pertemuan kebijakan dua hari yang terakhir dari Federal Reserve selesai pada hari Rabu (29/04) dan tidak memberikan dampak yang signifikan pada performa saham-saham Indonesia di minggu lalu karena tidak ada hasil yang mengejutkan. Walaupun the Fed tidak menghilangkan kemungkinan kenaikan suku bunga dalam pertemuan selanjutnya, the Fed juga menurunkan proyeksi pertumbuhan AS, mengimplikasikan kecilnya kemungkinan kenaikan suku bunga AS secara segera.

Sementara itu, rupiah Indonesia hanya melemah 0,02% menjadi Rp 12.948 per dollar AS di hari Jumat (01/05) menurut Bloomberg Dollar Index. Kendati begitu, nilai tukar rupiah yang menjadi acuan BI (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate disingkat JISDOR) menguat 0,03% menjadi Rp 12.937 selama seminggu terakhir.

Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia

Terakhir, Indonesia telah dilanda oleh laporan media yang buruk karena mengeksekusi delapan pengedar narkotika (tujuh di antaranya adalah warganegara asing) pada hari Rabu pagi, meskipun ada kritikan internasional yang keras.

Bahas