Temperatur dan kelembaban yang konstan adalah keadaan ideal untuk pertumbuhan tanaman teh. Kondisi tersebut dapat ditemukan di wilayah iklim tropis dan subtropis di Asia tempat lebih dari 60% teh dunia diproduksi. Dataran tinggi yang dingin merupakan tempat paling baik untuk memproduksi daun teh berkualitas tinggi. Tanaman teh dapat dipanen untuk pertama kalinya setelah mencapai usia kira-kira empat tahun. Ketika panen, hanya daun-daun muda yang dipilih, mengimplikasikan bahwa pemetikan manual lebih efisien dibandingkan menggunakan peralatan mesin. Karenanya, produksi teh adalah bisnis padat tenaga kerja.

Dua negara yang mendominasi produksi teh global adalah Cina dan India. Bersama-sama kedua negara ini berkontribusi untuk hampir setengah dari produksi teh dunia.

Negara Produsen Teh Terbesar pada Tahun 2014:

1. Cina       1,980,000
2. India       1,184,800
3. Kenia         445,105
4. Sri Lanka         338,032 
7. Indonesia         132,000

dalam ton metrik
Sumber: Statista

Teh di Indonesia

Produksi dan Ekspor Teh Indonesia

Indonesia saat ini adalah produsen teh terbesar ketujuh di dunia. Kendati begitu, karena prospek bisnis yang menguntungkan dari kelapa sawit, hasil produksi teh telah menurun di beberapa tahun terakhir karena beberapa perkebunan teh telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, sementara perkebunan-perkebunan teh yang lain telah menghentikan produksi untuk memproduksi sayuran atau produk pertanian lain yang lebih menguntungkan. Meskipun ada penurunan luas lahan, jumlah produksi teh tetap relatif stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa perkebunan-perkebunan teh yang tersisa menjadi lebih produktif.

Produksi & Ekspor Indonesia:

     2008    2009    2010    2011    2012  
   2013    2014    2015
Produksi Teh
(dlm ton metrik)
153,971  156,900 156,600 150,800 150,900 152,700 146,682 130,000
Ekspor Teh
(dlm ton metrik)
 91,700  92,300  87,100  75,500  70,100  70,800    62,700

Sumber: Food and Agriculture Organization of the United Nations

Provinsi-provinsi yang memproduksi teh paling banyak di Indonesia adalah:

1.
Jawa Barat (menyumbang sekitar 70% dari produksi teh nasional)
2. Jawa Tengah
3. Sumatra Utara

Hampir setengah dari produksi teh Indonesia diekspor keluar negeri. Pasar ekspor utamanya adalah Rusia, Inggris, dan Pakistan. Teh Indonesia yang diekspor terutama berasal dari perkebunan-perkebunan besar di negara ini, baik yang dimiliki negara maupun swasta (biasanya menghasilkan teh bermutu tinggi atau premium), sementara mayoritas petani kecil lebih berorientasi kepada pasar domestik (karena teh yang dihasilkan berkualitas lebih rendah dan karenanya memiliki harga penjualan yang lebih murah). Petani-petani kecil ini, yang kebanyakan menggunakan teknologi lama dan metode-metode pertanian yang sederhana, biasanya tidak memiliki fasilitas pengolahan. Pasar domestik teh tidaklah besar, direfleksikan oleh tingkat konsumsi teh per kapita Indonesia yang rendah. Pada tahun 2014, penduduk Indonesia mengkonsumsi rata-rata 0,32 kilogram teh per orang per hari (rata-rata dunia adalah 0,57 kilogram in 2014, sementara Turki jelas merupakan pengkonsumsi terbesar dengan 7,54 kilogram).

Perkebunan-perkebunan teh yang besar di Indonesia biasanya dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (contohnya Perkebunan Nusantara). Beberapa contoh dari pembudidaya teh swasta yang besar adalah Kabepe Chakra dan Gunung Slamat. Perusahaan barang konsumen Unilever Indonesia membeli bahan mentah tehnya dari perkebunan-perkebunan milik negara atau swasta untuk memproduksi produk-produk tehnya.

Dibandingkan dengan negara-negara utama penghasil teh lainnya, hasil produksi (per hektar) Indonesia rendah karena kebanyakan petani kecil kekurangan kemampuan finansial dan keahlian untuk mengoptimalkan produksi, sementara sebagian besar dari teh Indonesia ditumbuhkan dari biji dan bukannya dari hasil stek daun teh.

Teh Indonesia dikenal karena memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) tertinggi di dunia. Kebanyakan produksi teh Indonesia adalah teh hitam, diikuti oleh teh hijau.

Mirip dengan komoditi-komoditi lain, Indonesia bergantung pada ekspor teh produk primer (hulu). Kurang berkembangnya industri hilir teh Indonesia mengurangi daya saing industri teh Indonesia di pasar internasional. Ekspor produk-produk hilir teh berkontribusi hanya untuk kira-kira 6% dari total eskpor teh.

Prospek Masa Mendatang Industri Teh

Konsumsi teh global diproyeksikan akan meningkat hampir 3% setiap tahunnya selama satu dekade mendatang. Menskipun konsumsi teh domestik Indonesia telah bertumbuh subur selama dekade-dekade yang lalu, konsumsi teh per kapita tetaplah rendah (terlebih lagi kelas menengah urban Indonesia semakin mengembangkan “gaya hidup konsumsi kopi”). Kendati begitu konsumsi minuman teh dingin telah bertumbuh dengan kuat di beberapa tahun terakhir. Impor teh, meskipun berasal dari jumlah yang kecil, telah meningkat di periode Reformasi (terutama dari Vietnam). Impor-impor semacam ini dipandang sebagai ancaman untuk penjualan dan margin keuntungan para produsen lokal dan karenanya penting untuk mendongkrak produksi teh di Indonesia.

Kementerian Pertanian Indonesia mengumumkan di tahun 2014 bahwa kementerian ini akan menduakalilipatkan anggaran untuk merevitalisasi perkebunan-perkebunan teh negara ini (terutama di Jawa Barat karena sekitar 60% perkebunan teh di Indonesia berlokasi disana) dalam rangka mendongkrak hasil produksi teh Indonesia. Anggaran ini akan digunakan untuk program intensifikasi (yang termasuk distribusi pupuk) untuk 1.700 hektar dan program rehabilitasi (yang mencakup distribusi biji dan pupuk) untuk 1.500 hektar perkebunan teh.

Meskipun biaya tenaga kerja masih relatif rendah di Indonesia, upah minimum telah bertumbuh dengan cepat selama beberapa tahun terakhir. Sebagai industri yang padat tenaga kerja (pemetikan biasanya dilakukan manual), biaya tenaga kerja merupakan komponen terbesar dari biaya operasional produsen teh. Oleh karena itu, peningkatan gaji minimum yang cepat menimbulkan kekuatiran.

Kekuatiran yang lain adalah infrastruktur. Indonesia memiliki karakteristik infrastruktur yang lemah (baik kuantitas maupun kualitas). Situasi ini menyebabkan biaya-biaya logistik meningkat tajam, membuat biaya transportasi teh dari perkebunan menuju fasilitas pengolahan dan kemudian ke outlet retail lebih mahal dari seharusnya.

Updated pada 22 November 2015