Apa Itu Program Biodiesel Indonesia?

Program biodiesel Indonesia adalah kebijakan pencampuran yang mewajibkan bahan bakar diesel (berasal dari minyak mentah) dicampur dengan persentase tertentu dari biodiesel berbasis minyak kelapa sawit. Ini bukanlah minyak kelapa sawit mentah, melainkan biofuel olahan yang dikenal sebagai Fatty Acid Methyl Ester (FAME). FAME diproduksi melalui proses kimia yang disebut transesterifikasi, yang mengubah minyak kelapa sawit menjadi bahan bakar yang dapat dicampur dengan aman dengan diesel konvensional.

Dalam tahap B40 program saat ini, campurannya secara spesifik adalah 40 persen FAME dari minyak kelapa sawit dan 60 persen bahan bakar diesel minyak bumi.

Program biodiesel adalah salah satu landasan kebijakan energi Indonesia, yang bertujuan untuk mencapai beberapa sasaran utama:

  • Dengan meningkatkan penggunaan biofuel yang diproduksi di dalam negeri, Indonesia bertujuan untuk mengurangi ketergantungan yang besar terhadap diesel impor, sehingga memperbaiki neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, nilai tukar rupiah, dan ketahanan energi;

  • Sebagai produsen (minyak) kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia menggunakan program ini untuk menciptakan permintaan domestik yang kuat bagi komoditas utamanya, yang membantu menstabilkan harga dan menopang mata pencaharian jutaan petani kelapa sawit; dan

  • Program ini merupakan inisiatif utama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi.

Program biodiesel Indonesia pertama kali diluncurkan dengan pencampuran wajib pada tahun 2008 di bawah peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, program ini mendapatkan momentum yang signifikan dan menjadi mandat nasional untuk solar bersubsidi dengan program B20, yang secara resmi diberlakukan pada September 2018. Program ini sejak saat itu secara progresif telah meningkatkan tingkat campurannya, berpindah ke B30 pada tahun 2020, B35 pada tahun 2023, dan tahapnya saat ini, program B40, yang diluncurkan pada awal tahun 2025.

Bagaimana dengan Tahap B50 Program Biodiesel?

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia saat ini masih mengkaji tahap B50. Eniya Listiani Dewi, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi di Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah masih menargetkan implementasi tahap B50 pada tahun 2026, tetapi ada diskusi apakah lebih baik memilih tahap B45 terlebih dahulu karena beberapa masalah ditemukan selama uji coba B50.

Salah satu masalahnya adalah apakah tahap biodiesel B50 benar-benar membutuhkan 50 persen FAME, atau, dapat menggunakan 10 persen minyak nabati terhidrogenasi (HVO) di samping 40 persen FAME. Ia berpendapat bahwa jika B50 akan terdiri dari 50 persen FAME, maka permintaan untuk FAME akan mencapai sekitar 20 juta ton, atau alokasi tambahan sekitar 2 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) untuk program biodiesel nasional. Hal ini berarti ada kenaikan 5 juta ton dari 15 juta ton FAME yang dibutuhkan untuk produksi B40.

Ia menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan lima pabrik biodiesel baru untuk mengimplementasikan B50 tahun depan. Saat ini, tiga dari lima pabrik baru yang ditargetkan sedang dalam tahap pembangunan.



Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik pada Tahun 2026

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Kebijakan Strategis Kelapa Sawit (ASPI) Tungkot Sipayung menjelaskan bahwa produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) nasional pada tahun 2025 diprediksi sekitar 48 juta ton, dan berpotensi meningkat menjadi 50 juta ton pada tahun 2026. Permintaan untuk biodiesel di bawah skema B50 diproyeksikan akan menyerap sekitar 18,5 juta ton CPO, diikuti oleh 6-8 juta ton untuk industri makanan dan 2-3 juta ton untuk oleokimia.

Ini berarti pada tahun 2026 konsumsi CPO domestik akan mencapai sekitar 27 juta hingga 28 juta ton, menyiratkan bahwa masih ada sekitar 22 juta ton CPO yang tersedia untuk ekspor (yang berarti akan terjadi penurunan volume ekspor).

Masalah di Depan Mata?

Penurunan ekspor CPO dapat berdampak negatif karena program biodiesel utamanya didanai melalui pungutan ekspor CPO. Pemerintah Indonesia, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), memungut pajak atau bea tertentu pada setiap ton CPO dan produk turunannya yang diekspor dari negara ini. Pendapatan yang terkumpul kemudian ditempatkan dalam dana khusus yang digunakan untuk mensubsidi harga biodiesel berbasis kelapa sawit, memastikan harganya tetap kompetitif dengan diesel konvensional. Mekanisme pendanaan ini membuat program biodiesel layak secara ekonomi untuk penggunaan domestik tanpa bergantung pada anggaran negara.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) optimistis bahwa kapasitas biodiesel terpasang tahunan perusahaannya akan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku jika biofuel berbasis sawit wajib 50 persen diterapkan pada tahun 2026. Sekretaris Jenderal Aprobi Ernest Gunawan mengatakan bahwa kebutuhan bahan baku diperkirakan akan meningkat menjadi 17-18 juta ton jika peningkatan dari B40 ke B50 terealisasi tahun depan.

Selain alokasi biofuel, harga biodiesel yang tinggi dianggap sebagai tantangan dalam implementasi B50. Menurut Putra Adhiguna, Direktur Eksekutif Institut Pergeseran Energi, tantangan utama dalam implementasi B50 adalah harga dan subsidi yang terus melonjak (karena FAME lebih mahal daripada bahan bakar diesel). Akan semakin sulit bagi BPDPKS untuk menutupi kenaikan harga biodiesel. Sebagai konsekuensinya, harga B50 yang tinggi juga akan berdampak pada industri yang menggunakan bahan bakar ini, seperti industri pertambangan.

Bahas