Pohon karet memerlukan suhu tinggi yang konstan (26-32 derajat Celsius) dan lingkungan yang lembab supaya dapat berproduksi maksimal. Kondisi-kondisi ini ada di Asia Tenggara tempat sebagian besar karet dunia diproduksi. Sekitar 70 persen dari produksi karet global berasal dari Thailand, Indonesia dan Malaysia.

Memerlukan waktu tujuh tahun untuk sebatang pohon karet mencapai usia produksinya. Setelah itu, pohon karet tersebut dapat berproduksi sampai berumur 25 tahun. Karena siklus yang panjang dari pohon ini, penyesuaian suplai jangka pendek tidak bisa dilakukan.

Negara Produsen Karet Alam Terbesar pada Tahun 2014:

Negara Produksi
(dalam ton)
1. Thailand 4,070,000
2. Indonesia 3,200,000
3. Malaysia 1,043,000
4. Vietnam 1,043,000
5. India   849,000

Sumber: ANRPC

Karet Alam di Indonesia

Produksi dan Ekspor Karet Indonesia

Sebagai produsen karet terbesar kedua di dunia, jumlah suplai karet Indonesia penting untuk pasar global. Sejak tahun 1980an, industri karet Indonesia telah mengalami pertumbuhan produksi yang stabil. Kebanyakan hasil produksi karet negara ini - kira-kira 80 persen - diproduksi oleh para petani kecil. Oleh karena itu, perkebunan Pemerintah dan swasta memiliki peran yang kecil dalam industri karet domestik.

Kebanyakan produksi karet Indonesia berasal dari provinsi-provinsi berikut:

1. Sumatra Selatan
2. Sumatra Utara
3. Riau
4. Jambi
5. Kalimantan Barat

Total luas perkebunan karet Indonesia telah meningkat secara stabil selama satu dekade terakhir. Di tahun 2016, perkebunan karet di negara ini mencapai luas total 3,64 juta hektar. Karena prospek industri karet positif, telah ada peralihan dari perkebunan-perkebunan komoditi seperti kakao, kopi dan teh, menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit dan karet. Selama beberapa tahun ini jumlah perkebunan karet milik petani kecil meningkat, sementara perkebunan Pemerintah sedikit berkurang, kemungkinan karena perpindahan fokus mereka ke kebun kelapa sawit yang luas. Luasnya kebun karet pemain swasta besar berkurang di antara tahun 2010 dan 2012, namun naik cukup cepat mulai dari tahun 2013.

Luas Perkebunan Karet di Indonesia:

  2010 2015 2020
Petani Kecil
(dalam ribu ha)
2,922 3,076
Pemerintah
(dalam ribu ha)
 239  230
Swasta Besar
(dalam ribu ha)
 284  315
Total
(dalam ribu ha)
3,445 3,621

Sumber: Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo)

Sekitar 85 persen dari produksi karet Indonesia diekspor ke luar negeri. Hampir setengah dari karet yang diekspor ini dikirimkan ke negara-negara Asia lain, diikuti oleh Amerika Utara dan Eropa. Lima negara yang paling banyak mengimpor karet dari Indonesia adalah Amerika Serikat (yang berkonsumsi hampir 22 percent dari total ekspor Indonesia), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Jepang, Singapura, dan Brazil.

Konsumsi karet domestik di Indonesia kebanyakan diserap oleh industri-industri manufaktur Indonesia (terutama sektor otomotif). Mengingat industri manufaktur industri susah berkembang dengan signifikan, konsumsi karet di pasar domestik hanya tumbuh dengan sedikit saja.

Produksi & Ekspor Karet Alam Indonesia:

  2014 2015 2016 2017 2018¹ 2019¹
Produksi
(juta ton)
3.18 3.11  3.2  3.6  3.7  3.8
Volume Ekspor
(juta ton)
2.62 2.63 2.58
Nilai Ekspor
(juta Dollar AS)
4.74 3.70 3.37

 

  2008 2009 2010 2011 2012
2013
Produksi
(juta ton)
2.75 2.44 2.73 3.09 3.04 3.20
Volume Ekspor
(juta ton)
2.30 1.99 2.20 2.55 2.80 2.70
Nilai Ekspor
(juta Dollar AS)
 n.a.  n.a. 7.33 11.76 7.86 6.91

¹ menunjukkan prognosis
Sumber: Association of Natural Rubber Producing Countries, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) & Food and Agriculture Organization of the United Nations

Dibandingkan dengan negara-negara kompetitor penghasil karet yang lain, Indonesia memiliki level produktivitas per hektar yang rendah. Hal ini ikut disebabkan oleh fakta bahwa usia pohon-pohon karet di Indonesia umumnya sudah tua dikombinasikan dengan kemampian investasi yang rendah dari para petani kecil, sehingga mengurangi hasil panen. Sementara Thailand memproduksi 1.800 kilogram (kg) karet per hektar per tahun, Indonesia hanya berhasil memproduksi 1.080 kg/ha. Baik Vietnam (1.720 kg/ha) maupun Malaysia (1.510 kg/ha) memiliki produktivitas karet yang lebih tinggi.

Industri hilir karet Indonesia masih belum banyak dikembangkan. Saat ini, negara ini tergantung pada impor produk-produk karet olahan karena kurangnya fasilitas pengolahan-pengolahan domestik dan kurangnya industri manufaktur yang berkembang baik. Rendahnya konsumsi karet domestik menjadi penyebab mengapa Indonesia mengekspor sekitar 85 persen dari hasil produksi karetnya. Kendati begitu, di beberapa tahun terakhir tampak ada perubahan (walaupun lambat) karena jumlah ekspor sedikit menurun akibat meningkatnya konsumsi domestik. Sekitar setengah dari karet alam yang diserap secara domestik digunakan oleh industri manufaktur ban, diikuti oleh sarung tangan karet, benang karet, alas kaki, ban vulkanisir, sarung tangan medis dan alat-alat lain.

Ekspor Karet Indonesia Menurut Jenis Mutu:

Type  2010  2011  2012  2013  2014  2015  2016
Lateks Pekat
('000 ton)
 12.9   9.5   7.6   5.9   0.5   6.4   6.0
Ribbed Smoked Sheet
('000 ton)
 60.2  67.3  66.7  69.3  68.3  80.4  78.4
Technically Specified Rubber
('000 ton)
2,279 2,370  n.a. 2,625 2,550 2,539 2,494
Lain
('000 ton)
  1.6   4.4   2.3

Sumber: Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo)

Sebagai importir karet terbesar di dunia, kebijakan-kebijakan RRT bisa memiliki dampak sangat luas bagi industri karet dunia. Di akhir tahun 2014, Pemerintah RRT memutuskan untuk menyetujui standar baru untuk impor senyawa karet. Kandungan karet mentah yang diizinkan dalam senyawa karet yang diimpor dikurangi dari 95-99,5 persen menjadi 88 persen, mengimplikasikan bahwa impor senyawa karet ke RRT dikenai beacukai impor 20% (tarif yang sama dengan beacukai impor karet alam). Kebijakan RRT yang baru ini adalah pukulan bagi para suplier karet dari Indonesia karena menyebabkan penurunan penggunaan senyawa karet di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia.

Masalah lain adalah AS memindahkan ban buatan Indonesia dari sistem preferensi umumnya (generalized system of preference). Program AS ini didesain untuk mendukung negara-negara berkembang dengan memotong beacukai impor dan pajak untuk kira-kira 5.000 produk dari 123 negara. Ban buatan Indonesia dipindahkan dari daftar sistem ini karena AS meyakini bahwa industri ban Indonesia sudah cukup kompetitif. Ini berarti ekspor ban ke AS kini dikenai pajak impor 5 persen.

Tren Pasar, Tantangan & Harga Karet Alam

Penggerak utama untuk pasar karet global adalah kawasan Asia-Pasifik di mana permintaan akan karet alam tumbuh dengan kuat, dipimpin oleh China, konsumen karet terkemuka di dunia dan yang diperkirakan akan konsumsi hampir 40 persen dari total konsumsi karet dunia pada tahun 2021 (sebagian besar digunakan dalam industri manufaktur ban). Sementara itu, pertumbuhan yang kuat dalam konsumsi karet juga diperkirakan terjadi di Indonesia, India, Vietnam, dan Thailand karena industri otomotif yang berkembang di negara-negara ini.

Seperti kebanyakan komoditas utama lainnya, harga karet internasional telah mengalami tekanan mulai dari 2011 waktu aktivitas ekonomi global lemah (yang berdampak negatif pada industri otomotif) serta melimpahnya pasokan karet alam. Selain itu, harga minyak mentah yang rendah membuat karet sintetis sangat kompetitif, sehingga harga karet alam turun secara signifikan antara awal 2011 dan akhir 2017. Sementara itu, kemajuan dalam pengembangan ban berbasis bio juga menjadi ancaman bagi industri karet.

Grafik pertama di bawah ini menunjukkan penurunan tajam harga karet alam mulai dari awal 2011 karena melimpahnya pasokan karet, pertumbuhan ekonomi yang lamban dan persaingan yang ketat dari karet sintetis.

Harga Karet Alam - Grafik I (data dari Bloomberg):

Grafik kedua menunjukkan pemulihan tajam harga karet alam pada kuartal terakhir 2017 dan awal 2018. Alasan di balik kenaikan harga ini adalah gangguan pasokan di Thailand. Banjir besar-besaran dan tersebar luas di bagian selatan Thailand, di mana sebagian besar penanaman karet nasional terjadi, memiliki dampak besar pada pasokan karet alam (baik dalam hal produksi dan distribusi). Kekeringan yang parah juga disebut sebagai alasan produksi karet yang lemah di Thailand pada waktu itu.

Harga Karet - Grafik II (data dari Bloomberg):

Negara-negara penghasil karet terkemuka di dunia - Thailand, Indonesia dan Malaysia - juga telah sepakat untuk membatasi ekspor karet mereka melalui Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) yang disetujui dalam upaya untuk meningkatkan harga karet alam internasional. Kesepakatan pertama terjadi akhir tahun 2012. Penurunan permintaan karet Cina adalah salah satu alasan utama untuk menerapkan AETS.

Updated pada 5 April 2018