Negara-negara produsen minyak terbesar di dunia, yang bila dikombinasikan memproduksi sekitar 40% dari total produksi minyak mentah dunia, adalah Amerika Serikat (AS), Russia dan Arab Saudi.

Negara Penghasil Minyak Bumi Terbesar pada Tahun 2023:

Negara Produksi Minyak Mentah
dalam barrel per day (bpd)
  1. Amerika Serikat   12,900,000 bpd
  2. Russia   10,100,000 bpd
  3. Saudi Arabia    9,700,000 bpd
  4. Kanada    4,600,000 bpd
  5. Iraq    4,300,000 bpd
24. Indonesia     605,000 bpd

bpd = barrels per day
Sumber: US Energy Information Administration (EIA)

Meskipun sekarang banyak negara sedang mendalami potensi energi terbarukan, pentingnya – dan ketergantungan pada – minyak bumi di dunia tidak bisa dipungkiri ataupun diabaikan. Untuk sementara, bahan bakar fosil akan tetap menjadi sumber energi primer global yang paling penting. Pada akhir tahun 2022, bahan bakar fosil menyumbang hampir 82 persen pada konsumsi energi primer global (dengan energi terbarukan menyumbang 14 persen dan energi nuklir sebesar 4 persen). Dan dalam kategori bahan bakar fosil, minyak bumi (yang dulu disebut 'emas hitam') terus memainkan peranan sangat penting.

Meningkatnya permintaan minyak mentah global dan kekhawatiran soal pemasokan selama tahun 2000an menyebabkan harga minyak mencapai titik tertinggi dalam sejarah pada tahun 2008. Meskipun tren peningkatan pesat pada tahun 2000an ini jadi terganggu oleh krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, permintaan minyak global meningkat kembali secara substansial mulai tahun 2009 (sehingga harga minyak juga pulih dan tetap berkisar pada tingkat yang tinggi). Ini khususnya disebabkan oleh meningkatnya konsumsi minyak di negara-negara berkembang yang ekonominya tumbuh dengan yang kuat, seperti Tiongkok (Cina). Khususnya Tiongkok adalah konsumen besar energi dunia dan oleh karena itu mempengaruhi harga pasar dunia sumber energi primer.

Namun, sejak pertengahan tahun 2014, harga minyak dunia mulai menurun tajam akibat lesunya aktivitas ekonomi global (terutama karena menurunnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan cepat seiring dengan upaya Beijing untuk mengubah perekonomiannya dari berorientasi ekspor menjadi berorientasi konsumsi), dan peningkatan produksi minyak di Amerika Serikat, sementara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memutuskan untuk tidak membatasi tingkat produksinya juga. Pada bulan Februari 2016 harga minyak menyentuh titik terendah dalam 13 tahun. Setelah titik terendah itu, harga minyak bumi agak pulih hingga kuartal keempat tahun 2018.

Harga West Texas Intermediate (sampai dengan Mei 2024):

Pada kuartal keempat tahun 2018, harga minyak dunia kembali turun di tengah kelebihan pasokan (sebagian besar berasal dari Amerika Serikat) dan permintaan yang lebih lemah dari perkiraan. Pengurangan pasokan minyak dari OPEC kemudian mendorong harga minyak dunia ke level yang lebih tinggi pada kuartal pertama tahun 2019. Namun, sebelum harga minyak benar-benar sempat pulih, krisis COVID-19 tiba dan yang mendorong harga minyak ke titik terendah pada bulan Maret/April 2020 akibat pembatasan sosial yang diterapkan di seluruh dunia dan yang kemudian memicu penurunan produksi, konsumsi, mobilitas, perdagangan dan investasi yang luar biasa.

Setelah menyentuh titik terendah itu, harga minyak pulih seiring dengan pemulihan ekonomi dunia yang dimulai sekitar tahun 2021. Setelah itu, harga minyak mulai stabil.

Masa Depan Minyak

Jika kita memikirkan masa depan minyak, maka kita dapat berargumentasi bahwa masa depannya tidak pasti karena banyak negara ingin -atau merasa terpaksa untuk- beralih dari bahan bakar fosil (termasuk minyak). Jadi, dalam hal ini kita dapat berargumentasi bahwa minyak adalah sunset industri (yaitu yang sedang mengalami 'kematian'). Namun, dalam kasus minyak, akan membutuhkan waktu yang sangat lama karena kemajuan energi terbarukan berjalan sangat lambat. Oleh karena itu, dalam beberapa dekade mendatang, minyak akan terus memainkan peran penting, meskipun peran pentingnya itu akan semakin berkurang.

Menurut International Energy Agency (IEA), penggunaan minyak untuk transportasi akan menurun setelah tahun 2026 karena makin larisnya kendaraan listrik, pertumbuhan penggunaan biofuel dan peningkatan efisiensi bahan bakar. Namun, IEA memperkirakan permintaan minyak global akan meningkat enam persen antara tahun 2022 dan 2028 hingga mencapai 105,7 juta barel per hari, didukung oleh kuatnya permintaan dari sektor petrokimia dan penerbangan. Namun, setelah puncak ini, permintaan global diperkirakan akan melambat sebagai konsekuensi dari semakin pesatnya kemajuan sumber energi terbarukan.

Yang menarik kalau kita melihat tabel di bawah ini adalah bahwa meskipun konsumsi minyak diperkirakan akan menurun di negara-negara maju (seperti Amerika Serikat dan Eropa) selama beberapa tahun ke depan, konsumsi minyak diperkirakan akan meningkat di negara-negara berkembang. Asia-Pasifik malah diperkirakan akan menunjukkan pertumbuhan terkuat di tahun-tahun mendatang.

Proyeksi Permintaan Minyak Dunia (dalam juta bpd):

Wilayah 2024 2025 2026 2027 2028
Amerika Serikat  24.5  24.3  24.0  23.8  23.5
Amerika Selatan & Central   6.8   6.9   7.0   7.1   7.2
Eropa  14.5  14.7  14.6  14.5  14.3
Afrika   4.4   4.5   4.6   4.7   4.8
Timur Tengah   9.3   9.4   9.6   9.7   9.8
Eurasia   4.6   4.6   4.7   4.7   4.7
Asia-Pacific  38.8  39.7  40.3  40.9  41.3
Dunia 103.1 104.1 104.8 105.3 105.7

Sumber: International Energy Agency (IEA), Oil 2023 Report (Juni 2023)


Minyak Mentah di Indonesia

Produksi Minyak yang Menurun dan Konsumsi Minyak yang Meningkat di Indonesia

Dalam sejarah Indonesia, industri minyak merupakan industri yang sangat penting. Pada periode 1974–199-an perekonomian Indonesia tumbuh pada tingkat rata-rata tahunan yang tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ini sebagian besar didukung oleh dua ledakan harga minyak (oil boom) yang terjadi pada tahun 1970an, dan yang menghasilkan pendapatan devisa yang banyak. Oil boom pertama, yang terjadi pada tahun 1973-1974, disebabkan oleh keputusan OPEC untuk menaikkan harga minyak sebanyak empat kali lipat dengan memangkas ekspor minyak.

Sedangkan oil boom yang kedua (pada tahun 1979-1980) disebabkan oleh penutupan sementara industri minyak di Iran (akibat revolusi melawan rezim Shah). Karena Iran merupakan negara penghasil dan eksportir minyak terbesar kedua di OPEC pada waktu itu, penutupan tersebut berdampak besar pada harga minyak global.

Indonesia mendapat manfaat besar dari dua oil booms itu. Tidak hanya karena harga minyak mentah dunia sangat menarik (dan menguntungkan) pada saat itu, namun juga karena produksi minyak mentah di Indonesia menjadi sangat kuat pada tahun 1970an.

Produksi Minyak Bumi di Indonesia (1973-2024):

Setelah Soeharto menggantikan Soekarno sebagai orang paling berkuasa di Indonesia pada tahun 1966, ia berhasil menciptakan lingkungan investasi yang menarik bagi perusahaan asing. Masuknya dana asing sangat diperlukan karena Indonesia berada di ambang kehancuran pada pertengahan tahun 1960an. Berbagai perusahaan asing besar datang ke Indonesia pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam Indonesia (dan Suharto menerapkan sistem yang memungkinan bahwa dia secara pribadi juga mendapatkan manfaat dari masuknya investasi asing).

Mulai tahun 1990-an produksi minyak mentah di Indonesia mengalami tren penurunan yang terus-menerus karena kurangnya eksplorasi dan investasi di sektor ini. Target produksi minyak (oil lifting) yang ditetapkan pemerintah setiap tahunnya tidak tercapai selama bertahun-tahun berturut-turut karena sebagian besar produksi minyak berasal dari ladang-ladang minyak yang sudah tua. Sementara itu, saat ini, total kilang minyak di Indonesia memiliki kapasitas gabungan yang kurang lebih sama dengan dua dekade lalu, yang menunjukkan bahwa kemajuan dalam produksi minyak masih terbatas (penurunan produksi minyak berarti tidak ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas penyulingan minyak nasional).

Konsekuensi dari situasi ini adalah Indonesia menjadi negara net importir minyak pada tahun 2004. Impor minyak dan import bahan bakar minyak (BBM) dalam jumlah besar diperlukan untuk memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat karena Indonesia terus menikmati pertumbuhan sosial dan ekonomi yang kuat. Menjadi net importir juga berarti Indonesia harus mengakhiri keanggotaannya di OPEC (1962-2008). Tabel di bawah ini menunjukkan penurunan produksi minyak bumi Indonesia selama dua dasawarsa.

Produksi Minyak Bumi Indonesia (2006-2023):

   2018  2019  2020  2021  2022  2023
Produksi
(dalam ribu bpd)
  808   781   742   692   644   605

 

   2012  2013  2014  2015  2016  2017
Produksi
(dalam ribu bpd)
  917   871   847   838   873   837

 

   2006  2007  2008  2009  2010  2011
Produksi
(dalam ribu bpd)
  996   972 1,003   990 1,003    942

Sumber: Statistical Review of World Energy 2023

Meskipun memiliki target emisi nol (bersih) yang harapannya dicapai pada tahun 2060, Indonesia tetap punya harapan besar soal industri minyak nasional. Misalnya, sudah lama, pemerintah Indonesia punya ambisi ‘satu juta barel minyak per hari’, yang berarti pemerintah ingin meningkatkan produksi minyak nasional menjadi satu juta barel per hari (pada tahun 2030). Ambisi ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin beralih dari minyak dalam waktu dekat. Malah sebaliknya.

Selain itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sebuah lembaga pemerintah yang ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Investasi pada tahun 2021, memasukkan industri minyak dan gas nasional dalam daftar 'industri investasi prioritas hingga tahun 2040'. Artinya, secara khusus BKPM akan mendorong realisasi investasi langsung pada industri migas nasional. BKPM menargetkan investasi langsung di bidang minyak dan gas hingga USD $68,1 miliar hingga tahun 2040.

Jadi, Indonesia jelas tidak terburu-buru untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Bahkan, kami berasumsi bahwa Indonesia akan berusaha keras untuk memaksimalkan sumber daya minyak, gas, dan batubaranya sebelum mencapai ambisi netral karbon pada tahun 2060.

Minimnya investasi eksplorasi dan eksploitasi pada industri (yang mengakibatkan menurunnya produksi minyak di Indonesia) disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain ketidakpastian peraturan (peraturan dan kebijakan sering berubah dengan cepat), birokrasi yang berlebihan saat mengajukan izin/ perizinan, nasionalisme sumber daya (menyiratkan bahwa kontrak tidak akan diperpanjang sehingga membuat kontraktor asing enggan berinvestasi di ladang minyak yang mereka lagi tangani), dan ketidakpastian hukum.



Selain itu, pada saat harga minyak dunia sedang rendah (yang kita lihat selama dekade terakhir beberapa kali), kontraktor minyak juga menjadi tidak tertarik untuk melakukan investasi padat modal. Sementara itu, mengingat transisi energi global, keterlibatan dalam pertambangan minyak juga menjadi tidak populer. Dan yang terakhir, sekarang lebih mahal dan lebih rumit (secara teknis) karena fokusnya Indonesia dialihkan ke penambangan minyak di laut dalam (deepwater) di Indonesia. Ini membawa lebih banyak risiko bagi investor.

Ini semua sempat menciptakan lingkungan investasi yang tidak terlalu menarik bagi investor. Alhasil, Indonesia menjadi bergantung pada ladang minyak yang sudah tua.

Situasi ini (ketergantungan Indonesia terhadap impor) menimbulkan sejumlah dampak negatif, dengan dua dampak utama: (1) Indonesia kehilangan pendapatan devisa, dan (2) permintaan bahan bakar yang terus meningkat di masyarakat Indonesia telah meningkatkan defisit perdagangan minyak yang lebar karena impor bbm dan minyak sangat dibutuhkan. Hal ini tidak hanya memberikan tekanan pada neraca perdagangan tetapi juga pada neraca transaksi berjalan, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah. Terlebih lagi, kalau minyak impor yang mahal perlu digunakan dalam industri manufaktur Indonesia, maka hasil produksi juga menjadi lebih mahal. Terakhir, meskipun Indonesia sedang berupaya untuk menghapuskan subsidi bahan bakar secara bertahap, impor minyak atau bahan bakar yang mahal menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan (atau membakar) banyak dana publik untuk subsidi bahan bakar.

Sementara itu, konsumsi minyak di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang stabil dalam beberapa dekade terakhir. Karena pertumbuhan populasi, bertambahnya kelas menengah dan pertumbuhan ekonomi, permintaan bahan bakar terus meningkat. Saat ini, Indonesia diperkirakan mengonsumsi sekitar 1.600.000 barel minyak per hari. Namun produksinya hanya sekitar 600.000 barel per hari sehingga defisitnya harus berasal dari luar negeri.

Konsumsi Minyak di Indonesia (2005-2022):

  2017  2018  2019  2020  2021  2022
Konsumsi
(dalam ribu bpd)
1,565 1,616 1,582 1,400 1,461 1,585

 

  2011 2012 2013 2014 2015 2016
Konsumsi
(dalam ribu bpd)
1,589 1,612 1,572 1,572 1,505 1,454

 

  2005 2006 2007 2008 2009 2010
Konsumsi
(dalam ribu bpd)
1,303 1,244 1,318 1,287 1,297  1,402

Sumber: Statistical Review of World Energy 2023

Sebagian besar produksi minyak Indonesia terkonsentrasi di cekungan-cekungan di wilayah barat negara ini. Namun karena sedikitnya penemuan minyak baru yang signifikan di wilayah barat ini, pemerintah mengalihkan fokusnya ke wilayah timur Indonesia. Sementara itu, sekitar 60 persen potensi ladang minyak baru di Indonesia terletak di perairan dalam (deepwater) yang jauh dari pantai sehingga memerlukan teknologi canggih dan investasi modal besar sebelum produksi komersial dapat dimulai.

Cadangan minyak terbukti telah menurun cukup signifikan di Indonesia selama 35 tahun terakhir; sesuatu yang sangat berkontras dengan tren global. Walau cadangan minyak terbukti di Indonesia turun dari 5,1 miliar barel pada akhir tahun 2000 menjadi 2,4 miliar barel pada akhir tahun 2020, cadangan minyak terbukti global malah meningkat dari 1,3 triliun menjadi 1,73 triliun barel pada periode yang sama. Hal ini juga berarti Indonesia menguasai 0,14 persen dari total cadangan minyak terbukti di dunia.

Cadangan Minyak Bumi Indonesia:

  1991 2000 2014 2020
Cadangan
(dalam miliar barel)
  5.9   5.1   3.7   2.4

Sumber: Statistical Review of World Energy

Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Konsumsi Minyak di Indonesia

Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yang banyak dikritik adalah kebijakan subsidi bbm. Selama beberapa dekade, banyak dana (yang diambil dari anggaran tahunan pemerintah pusat, APBN) digunakan untuk menyediakan bbm yang murah (khususnya pertalite) kepada masyarakat Indonesia. Kebijakan yang mendongkrak konsumsi bbm ini ditujukan untuk mendukung masyarakat yang miskin. Dengan menyediakan bbm murah, biaya yang harus dikeluarkan masyarakat dapat dikurangi (secara artifisial). Misalnya, ketika biaya transportasi ditekan, harga produk yang dijual ke konsumen juga bisa ditekan. Namun, dalam kombinasinya dengan fakta bahwa Indonesia adalah negara pengimpor minyak (net), kebijakan ini membuat APBN (dan neracanya) menjadi sangat rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia.

Sejak tahun 2014 pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah nyata untuk membatasi pengeluaran pemerintah untuk subsidi bbm. Namun, belanja negara terkait bbm masih tetap kuat. Meskipun subsidi bbm telah menurun drastis di atas kertas, kita melihat dana kompensasi yang diberikan oleh pemerintah ke perusahaan energi milik negara Pertamina meroket. Dana kompensasi ini diperlukan agar Pertamina dapat menjual pertalite dan solar bersubsidi dengan harga murah di pasar Indonesia.

Subsidi bbm selalu dikritik karena konon kebijakan ini malah menguntungkan kelompok masyarakat yang mampu (bukan masyarakat miskin), sedangkan harga bbm yang terlalu murah menyebabkan distorsi pasar di Indonesia (memicu gelembung yang mungkin, pada suatu hari, akan meledak saat subsidi atau dana kompensasi ini dihapus).

Pemangkasan subsidi bbm selalu menjadi isu sensitif di Indonesia dan seringkali menyebabkan demonstrasi (yang membawa risiko bagi partai politik dalam kabinetnya). Apalagi pengurangan subsidi bbm memicu lonjakan inflasi.

Kontribusi Minyak Terhadap Perekonomian Domestik Indonesia

Sebelumnya sektor minyak dan gas memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia melalui ekspor dan perolehan devisa. Namun, seiring dengan menurunnya produksi minyak selama beberapa dasawarsa, kontribusinya terhadap perekonomian dan terhadap pendapatan negara juga semakin menurun. Pada tahun 2023, industri migas (hulu) menyumbang sekitar 7 persen saja terhadap total penerimaan negara (sedangkan pada tahun 1990 angka itu mencapai 40 persen).

Pada awal tahun 2023 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan bahwa cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan hanya bertahan sekitar 9 hingga 10 tahun. Oleh karena itu, investasi eksplorasi sangat diperlukan. Indonesia memiliki 128 cekungan minyak, dan hanya 60 cekungan yang sejauh ini telah dieksplorasi dan dieksploitasi. Namun, masalahnya dengan 68 cekungan yang tersisa adalah bahwa sebagian besar berada di perairan dalam.

Kontraktor Minyak Mentah Terbesar Yang Aktif di Indonesia

Dulu sebagian besar produksi minyak di Indonesia dihasilkan oleh kontraktor asing berdasarkan perjanjian kontrak bagi hasil (misalnya, Chevron Pacific Indonesia, anak perusahaan Chevron Corporation, pernah menyumbang sekitar 40 persen terhadap produksi minyak bumi nasional). Namun, selama dekade terakhir, kita telah melihat raksasa energi global (seperti Chevron atau Shell) hengkang dari proyek minyak dan gas tertentu. Dalam beberapa kasus, kontraknya tidak diperpanjang oleh pemerintah Indonesia, sehingga Pertamina ditunjuk untuk mengelola ladang minyak dan gas tersebut. Dalam kasus lain, kontraktor memutuskan untuk meninggalkan Indonesia di tengah lingkungan investasi yang kompleks dan tidak pasti. Apalagi, sekarang ada transisi energi global yang membuat perusahaan energi beralih ke sumber energi yang lain.

Kontraktor Minyak Bumi Paling Besar di Indonesia (2023):

Kontraktor Produksi Minyak Mentah
barel per hari (bpd)
 1. Pertamina Hulu Rokan           161,623
 2. ExxonMobil Cepu Limited           155,444
 3. Pertamina EP            69,417
 4. Pertamina Hulu Energi ONWJ LTD            26,580
 5. Pertamina Hulu Mahakam            26,503
 6. Pertamina Hulu Energi OSES            17,510
 7. Petrochina International Jabung Ltd            15,303
 8. Pertamina Hulu Sanga-Sanga            10,961
 9. Medco EP & Natuna            10,590
10. Pertamina Hulu kalimantan Timur             9,869

Sumber: SKK Migas

Masa Depan Industri Minyak di Indonesia

Sama seperti banyak negara lain, Indonesia berupaya untuk mengurangi ketergantungannya pada minyak bumi sebagai sumber energi di tengah transisi energi global. Terlebih lagi, Indonesia ingin mengurangi impor minyak yang mahal karena hal ini memberikan tekanan pada neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan, nilai tukar rupiah dan cadangan devisa (dan selain itu, impor minyak juga menyebabkan pengeluaran negara yang besar untuk subsidi bahan bakar atau pembayaran kompensasi).

Namun, seperti dibahas di atas, pemerintah Indonesia masih menaruh harapan tinggi terhadap industri minyak nasional, ingin meningkatkan produksi minyak ke satu juta barel per hari pada tahun 2030. Ini akan memerlukan investasi besar yang pada gilirannya memerlukan lingkungan peraturan dan iklim investasi yang transparan, stabil dan aman (termasuk kooperasi dan koordinasi yang lancar antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah).

Mengingat transisi energi yang sedang berlangsung, teknologi minyak ramah lingkungan pasti jadi makin penting. Jadi, tantangan bagi kontraktor migas di Indonesia adalah untuk mengintegrasikan carbon capture storage (CCS) atau carbon capture usage (CCUS) pada industri hulu migas. Ini juga berarti pemerintah Indonesia (lewat SKK Migas sebagai regulatornya) perlu membuat payung hukum supaya bisa menerima investasi di teknologi baru ini. 

Update Terakhir: 24 Mei 2024