Namun, ketika pada akhir tahun 1990-an Krisis Finansial Asia terjadi, tingkat kemiskinan di Indonesia melejit tinggi, dari 11 persen menjadi 19.9 persen di akhir tahun 1998, yang berarti prestasi yang sudah diraih Orde Baru hancur seketika.

Tabel berikut ini memperlihatkan angka kemiskinan di Indonesia, baik relatif maupun absolut (untuk membaca analisis mengenai Gini Rasio silakan lanjut baca di bagian bawah halaman situs ini):

Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia:

   2013  2014  2015  2016  2017  2018
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
 11.5  11.0  11.2  10.7  10.1   9.8¹
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
 28.6  27.7  28.5  27.8  26.6  26.0¹
Koefisien Gini/
Rasio Gini
 0.41  0.41  0.41  0.40  0.39  0.39¹

 

   2007  2008  2009  2010  2011  2012
Kemiskinan Relatif
(% dari populasi)
 16.6  15.4  14.2  13.3  12.5  11.7
Kemiskinan Absolut
(dalam jutaan)
   37    35  3.25  31.0  30.0  28.7
Koefisien Gini/
Rasio Gini
 0.35  0.35  0.37  0.38  0.41  0.41

¹ Maret 2018
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia

Tabel di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun, pemerintah Indonesia menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya. Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) sebanyak Rp. 354,386 (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

Namun jika kita menggunakan nilai garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $1.25 per hari sebagai mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (dengan kata lain miskin), maka persentase tabel di atas akan kelihatan tidak akurat karena nilainya seperti dinaikkan beberapa persen. Lebih lanjut lagi, menurut Bank Dunia, kalau kita menghitung angka penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari USD $2 per hari angkanya akan meningkat lebih tajam lagi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup hampir di bawah garis kemiskinan. Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia (sekitar 65 juta jiwa) hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

Dalam beberapa tahun belakangan ini angka kemiskinan di Indonesia memperlihatkan penurunan yang signifikan. Meskipun demikian, diperkirakan penurunan ini akan melambat di masa depan. Mereka yang dalam beberapa tahun terakhir ini mampu keluar dari kemiskinan adalah mereka yang hidup di ujung garis kemiskinan yang berarti tidak diperlukan sokongan yang kuat untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Namun sejalan dengan berkurangnya kelompok tersebut, kelompok yang berada di bagian paling bawah garis kemiskinanlah yang sekarang harus dibantu untuk bangkit dan keluar dari kemiskinan. Ini lebih rumit dan akan menghasilkan angka penurunan tingkat kemiskinan yang berjalan lebih lamban dari sebelumnya.

Stabilitas harga makanan (khususnya beras) merupakan hal penting sekali bagi Indonesia sebagai negara yang penduduknya menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli beras (dan produk makanan lain). Oleh karena itu, tekanan inflasi pada harga beras (misalnya karena gagal panen) dapat memiliki konsekuensi serius bagi mereka yang miskin atau hampir miskin. Bahkan sebagian dari mereka yang hidup sedikit saja di atas garis kesmiskinan bisa jatuh dalam kemiskinan penuh karena inflasi yang tinggi.

Selain inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga makanan, keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi (terutama subsidi untuk BBM dan listrik) menyebabkan inflasi yang tinggi. Misalnya waktu pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan pemotongan subsidi BBM pada akhir tahun 2005 terjadinya peningkatan signifikan angka kemiskinan di antara tahun 2005 dan 2006. Harga minyak internasional yang naik membuat pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM waktu itu guna meringankan defisit anggaran pemerintah. Konsekuensinya adalah inflasi dua digit di antara 14 sampai 19 persen (tahun-ke-tahun) terjadi sampai oktober 2006. Presiden Joko Widodo juga mengurangi subsidi BBM, baik pada akhir tahun 2014 maupun awal tahun 2015. Namun karena harga minyak internasional yang lemah pada waktu itu, keputusan ini tidak mengimplikasikan dampak yang luar biasa pada angka inflasi. Toh, angka inflasi Indonesia naik menjadi di antara 8 - 9 persen (t/t) pada tahun 2014 maka ada peningkatan kemiskinan sedikit di Indonesia di antara tahun 2014 dan 2015, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan.

Kemiskinan di Indonesia dan Distribusi Geografis

Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah perbedaan yang begitu besar antara nilai kemiskinan relatif dan nilai kemiskinan absolut dalam hubungan dengan lokasi geografis. Jika dalam pengertian absolut lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat), dalam pengertian relatif propinsi-propinsi di Indonesia Timur menunjukkan nilai kemiskinan yang lebih tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan lima propinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi. Semua propinsi ini berlokasi di luar wilayah Indonesia Barat seperti pulau Jawa, Sumatra dan Bali (yang adalah wilayah-wilayah yang lebih berkembang dibanding pulau-pulau di bagian timur Indonesia).

Propinsi dengan Angka Kemiskinan Relatif Tinggi:

Provinsi Orang Miskin¹
Papua       28.5%
Papua Barat       25.4%
Nusa Tenggara Timur       22.2%
Maluku       19.2%
Gorontalo       17.7%

¹ persentase berdasarkan total penduduk per propinsi bulan March 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Tingkat kemiskinan di propinsi-propinsi di Indonesia Timur ini, di mana sebagian besar penduduknya adalah petani, kebanyakan ditemukan di wilayah pedesaan. Di daerah tersebut masyarakat adat sudah lama hidup di pinggir proses perkembangan ekonomi dan jauh dari program-program pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah perkotaan adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pekerjaan dan - dengan demikian - menghindari kehidupan dalam kemiskinan.

Bertentangan dengan angka kemiskinan relatif di Indonesia Timur, tabel di bawah ini menunjukkan angka kemiskinan absolut di Indonesia yang berkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatra. Kedua pulau ini adalah pulau terpadat (populasi) di Indonesia.

Propinsi dengan Angka Kemiskinan Absolut Tinggi:

Provinsi Orang Miskin
(dalam jutaan)
Jawa Timur        4.78
Jawa Tengah        4.51
Jawa Barat        4.49
Sumatra Utara        1.51
Nusa Tenggara Timur        1.16

per Maret 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Poverty in Indonesia - Indonesia's Poorest Provinces - Relative and Absolute Poverty in Indonesian Society - Indonesia Investments Delft Jakarta

Kemiskinan di Indonesia: Kota dan Desa

Indonesia telah mengalami proses urbanisai yang cepat dan pesat (sama seperti tren internasional belakangan ini). Sejak pertengahan tahun 1990-an jumlah absolut penduduk pedesaan di Indonesia mulai menurun dan saat ini lebih dari setengah total penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan (padahal pada tengah 1990-an hanya sekitar sepertiga populasi Indonesia tinggal di daerah perkotaan).

Kecuali beberapa propinsi, wilayah pedesaan di Indonesia relatifnya lebih miskin dibanding wilayah perkotaan. Angka kemiskinan pedesaan Indonesia (persentase penduduk pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan desa tingkat nasional) turun hingga sekitar 20 persen di pertengahan 1990-an tetapi melonjak tinggi ketika Krisis Finansial Asia (Krismon) terjadi antara tahun 1997 dan 1998, yang mengakibatkan nilainya naik mencapai 26 persen. Setelah tahun 2006, terjadi penurunan angka kemiskinan di pedesaan yang cukup signifikan seperti apa yang ditunjukkan tabel di bawah ini, walau slowdown ekonomi Indonesia di antara tahun 2011 dan 2015 membatasi penurunan tersebut.

Statistik Kemiskinan Pedesaan di Indonesia:

  2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Pedesaan¹ 21.8 20.4 18.9 17.4 16.6 15.7 14.3 14.4 13.8 14.2 14.1

¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan desa
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Angka kemiskinan kota adalah persentase penduduk perkotaan yang tinggal di bawah garis kemiskinan kota tingkat nasional. Tabel di bawah ini, yang memperlihatkan tingkat kemiskinan perkotaan di Indonesia, menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kemiskinan desa: semakin berkurang mulai dari tahun 2006 tetapi kinerja ini terbatasi di antara tahun 2012-2015 karena slowdown perekonomian Indonesian. Slowdown ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi global yang lemah, penurunan harga komoditas, dan iklim suku bunga Bank Indonesia yang tinggi pada periode 2013-2015 (demi melawan inflasi yang tinggi, mendukung rupiah, dan membatasi defisit transaksi berjalan).

Statistik Kemiskinan Perkotaan di Indonesia:

  2006 2007 2008 2009 2010 2011
2012 2013 2014 2015 2016
Kemiskinan Kota¹ 13.5 12.5 11.6 10.7  9.9  9.2  8.4  8.5  8.2  8.3  7.8

¹ persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan kota
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Ketidaksetaraan di Indonesia yang semakin Meluas?

The Gini ratio (or coefficient), which measures income distribution inequality, is an important indicator to assess the degree of 'righteousness' in a country (although this indicator does have some flaws). A Gini coefficient of 0 indicates perfect equality, while a coefficient of 1 indicates perfect inequality. It is interesting to note that a sharp rise in income distribution inequality occurred in Indonesia in the post-Suharto era. Thus, the period of democracy and decentralization in the post-Suharto era created an environment that allowed for rising inequality in Indonesian society: while in the 1990s Indonesia's Gini ratio stood at an average of 0.30, it rose to an average of 0.39 in the 2000s, and remained stable at 0.41 in the years 2011-2015 before easing slightly to 0.40 in 2016.

It actually is a painful fact that Indonesia's rising inequality emerged while - at the same time - the overall economy expanded from a USD $163.8 billion economy in 1999 to a USD $861.9 billion economy in 2015 (and while Indonesia became a member of the G20 group of major economies in 2008)

A World Bank report that was released in December 2015 claims that only the richest 20 percent of Indonesia's population have enjoyed the fruits of a decade-long economic growth, implying that 80 percent of the population (or 200 million people in absolute terms) are left behind. These are alarming figures. In fact, after China, Indonesia saw the highest rise in income distribution inequality between the 1990s and the 2000s among Asian countries:

Asian Countries with the Highest Average Gini Ratio:

Country Gini Ratio in
 the 1990s
Gini Ratio in
 the 2000s     
Difference
China      0.34      0.45     +0.11
Indonesia      0.30      0.39     +0.09
Laos      0.32      0.38     +0.06
India      0.34      0.39     +0.05
Vietnam      0.37      0.37      0.00
Cambodia      0.39      0.38     -0.01
Philippines      0.45      0.44     -0.01
Malaysia      0.49      0.47     -0.02
Thailand      0.46      0.41     -0.05

Source: World Bank

In Indonesia the Gini ratio is also closely related to the movement of commodity prices. The rising trend of the nation's Gini ratio in the 2000s came amid the commodities boom, while the Gini ratio stabilized after commodity prices collapsed in 2011. Therefore, rising or falling commodity prices apparently particularly affect the top 20 percent of the Indonesian population. Lower commodity prices weakens this group's incomes and purchasing power.

A high degree of inequality in society is a threat because it not only jeopardizes social cohesion but it also jeopardizes political and economic stability. Moreover, research conducted by the World Bank shows that countries with more equal wealth distribution tend to grow faster and more stably compared to those countries that exhibit a high degree of inequality.

Besides overall nationwide inequality in Indonesia, there also exists a high degree of inequality among the various regions within the country. For example the island of Java, particularly the Greater Jakarta region, contributes about 60 percent to the total Indonesian economy. Direct investment is also highly concentrated on this island causing rising inequality between Java and the outer islands.

What can the government do to combat income distribution inequality in Indonesia? Key strategies would be to increase employment opportunities for Indonesians by encouraging the development of labor-intensive sectors (particularly the agriculture sector and manufacturing industry). To achieve this, it is important to attract direct investment in these labor-intensive industries (implying the government needs to continue its focus on improving Indonesia's investment climate).

Meanwhile, the government needs to focus on the development of new economic growth centers outside the island of Java in order to reduce inequality (structurally) among the various regions. Infrastructure development in the remote regions is one strategy to achieve this (which will cause the so-called multiplier effect). Lastly, education and health should also be improved nationwide as higher education and healthy lifestyles tend to lead to higher incomes.

Namun, kita masih dapat mempertanyakan metodologi koefisien Gini ini karena ia membagi penduduk dalam lima kelompok, masing-masing berisi 20 persen dari populasi: dari 20 persen terkaya sampai ke 20 persen termiskin. Selanjutnya, koefisien ini mengukur kesetaraan (dan ketimpangan) antara kelompok-kelompok tersebut. Ketika menggunakan koefisien ini untuk Indonesia masalah yang timbul adalah negara ini memiliki karakter ketidakseimbangan ekstrim dalam setiap kelompoknya, sehingga membuat hasil koefisien Gini kurang selaras dengan kenyataan.

Update terakhir: 12 Januari 2017