Semasa pemerintahan Orde Baru, pembangunan ekonomi mampu menambahkan banyak pekerjaan baru di Indonesia, yang dengan demikian mampu mengurangi angka pengangguran nasional. Sektor-sektor yang terutama mengalami peningkatan tenaga kerja (sebagai pangsa dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia) adalah sektor industri dan jasa sementara sektor pertanian berkurang: pada tahun 1980-an sekitar 55 persen populasi tenaga kerja Indonesia bekerja di bidang pertanian, tetapi belakangan ini angka tersebut berkurang menjadi di bawah 30 persen.

Namun, Krisis Keuangan Asia (Krismon) yang terjadi pada akhir tahun 1990-an merusak pembangunan ekonomi Indonesia (untuk sementara) dan menyebabkan angka pengangguran di Indonesia meningkat menjadi lebih dari 20 persen dan angka tenaga kerja yang harus bekerja di bawah level kemampuannya (underemployment) juga meningkat, sementara banyak yang ingin mempunyai pekerjaan full-time, hanya bisa mendapatkan pekerjaan part-time.

Sementara itu, banyak orang yang kehilangan pekerjaan di daerah perkotaan selama krisis itu bergabung dengan sektor informal yang sudah besar di daerah pedesaan, di mana jaringan pengaman tradisional dan pekerjaan pertanian informal memberikan sedikit perlindungan terhadap kesulitan ekonomi.

Sesuatu yang serupa terjadi selama krisis COVID-19 pada tahun 2020-2021, ketika aktivitas ekonomi sangat dibatasi oleh kebijakan pemerintah. Namun, dampak terhadap pengangguran tampaknya tidak separah waktu Krisis Keuangan Asia. Tingkat pengangguran Indonesia hanya mencapai puncaknya 7.1 persen pada Agustus 2020 selama krisis COVID-19.

Meskipun Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi makro yang kuat setelah pulih sepenuhnya dari krisis pada akhir 1990-an dan dari krisis COVID-19, sektor informal —baik di daerah pedesaan maupun perkotaan— terus memainkan peran yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia. Meskipun sulit untuk menentukan angka pastinya, diperkirakan antara 55 hingga 65 persen lapangan kerja di Indonesia bersifat informal. Sekitar 80 persen dari pekerjaan informal ini saat ini terkonsentrasi di daerah pedesaan, khususnya di sektor pertanian dan perdagangan/eceran.

Tingkat Pengangguran di Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan data pengangguran dan tenaga kerja dua kali setahun (pada bulan Februari dan Agustus). Mari kita lihat dulu tingkat pengangguran resminya Indonesia.

Table 1 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran Indonesia telah menunjukkan tren penurunan yang stabil selama dua dekade terakhir, bertahan di angka satu digit sejak tahun 2006. Namun, tabel tersebut memang menunjukkan dua kenaikan sementara dalam pengangguran. Pertama, pada tahun 2015, terjadi peningkatan yang terutama didorong oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja dan penyerapan pekerja baru yang lebih lambat ke dalam angkatan kerja.

Tabel 1; Tingkat Pengangguran Relatif di Indonesia:

  2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026
Tingkat Pengangguran
(% dari tenaga kerja)
7.07 6.49 5.86 5.32 4.91 4.76  n/a
  2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Tingkat Pengangguran
(% dari tenaga kerja)
6.17 5.94 6.18 5.61 5.50 5.30 5.23
  2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Tingkat Pengangguran
(% dari tenaga kerja)
10.3  9.1  8.4  7.9  7.1  6.6  6.1

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Kedua, seperti yang disebutkan di atas, krisis COVID-19 pada 2020-2021 mendorong tingkat pengangguran nasional dari 5.23 persen dari tenaga kerja Indonesia pada 2019 menjadi 7.07 persen pada 2020. Untungnya, pemulihan terjadi relatif cepat. Pada akhir 2023, tingkat tersebut sudah kembali ke level sebelum krisis COVID-19.

Penting untuk mencermati lebih dekat metodologi yang digunakan BPS dalam menghitung tingkat pengangguran. BPS umumnya mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dengan menganggap setiap individu berusia 15 tahun ke atas sebagai 'menganggur' jika mereka memenuhi kriteria berikut selama pekan survei:

  • Orang tersebut tidak bekerja sama sekali untuk mendapatkan upah atau keuntungan selama pekan survei;
  • Orang tersebut telah melakukan langkah-langkah spesifik untuk mencari pekerjaan selama empat minggu sebelum pekan survei (misalnya: menghubungi pemberi kerja, mendaftar di agen penempatan kerja, melamar pekerjaan, dan melihat iklan lowongan kerja);
  • Orang tersebut siap dan bersedia untuk mulai bekerja jika ditawari pekerjaan selama pekan survei.

Kekhawatirannya adalah adanya ruang untuk perkiraan pengangguran yang lebih rendah (underestimasi). Sebagai contoh, persyaratan 'aktif mencari pekerjaan selama empat minggu sebelum survei' mungkin mengecualikan kelompok pekerja yang sudah pasrah maka telah berhenti mencari pekerjaan karena mereka percaya tidak ada peluang yang sesuai. Dalam statistik BPS, kelompok ini tidak dianggap sebagai pengangguran. Namun, kelompok pekerja yang pasrah ini, pada kenyataannya, bisa saja cukup besar di Indonesia.

Sementara itu, pekan survei hanya memberikan gambaran sesaat. Jadi, seseorang yang aktif mencari pekerjaan pada minggu setelah survei (atau yang mencari pekerjaan dalam setahun terakhir tetapi tidak dalam empat minggu sebelum survei) tidak akan terhitung sebagai pengangguran dalam surveinya.

Kedua, besarnya sektor informal di Indonesia dan masalah kurang kerja (underemployment) juga mengaburkan gambaran sebenarnya. Pekerja sektor informal memang termasuk dalam data resmi BPS. Namun, definisi "bekerja" cukup luas. Jadi, dalam kategori pekerja yang dipekerjakan, kita menemukan individu yang bekerja dengan jam sangat sedikit, dengan upah sangat rendah, atau yang bekerja dalam kondisi tidak pasti di sektor informal, meskipun mereka sebenarnya mencari pekerjaan yang lebih banyak atau lebih baik. Kurang kerja ini (mengacu pada mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan menginginkan lebih banyak jam kerja) merupakan masalah serius di Indonesia dan merupakan pengangguran tersembunyi yang tidak sepenuhnya tercermin dalam tingkat pengangguran utama.

Terakhir, perlu ditekankan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar (dengan populasi lebih dari 285 juta jiwa), dengan banyak wilayah yang terpencil. Akibatnya, pengumpulan data (khususnya survei nasional berskala besar) selalu menjadi tugas yang sangat menantang, dan belum tentu dapat menangkap status ketenagakerjaan semua responden secara akurat.

Jadi, pertanyaannya adalah apakah BPS mungkin meremehkan situasi pengangguran yang sebenarnya di Indonesia. Jika masalah pengangguran lebih buruk dari data pemerintah, maka ini membawa risiko besar. Pengangguran menciptakan lahan subur bagi ketegangan sosial dengan menyebabkan kesulitan ekonomi, mengikis kesejahteraan sosial, berpotensi meningkatkan kejahatan dan kekacauan, serta mengganggu stabilitas ranah politik (terutama jika masyarakat mulai merasa pemerintah berusaha menyembunyikan masalah ini).

Tenaga Kerja Indonesia

Dengan sekitar 285 juta penduduk, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia (setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat). Selain itu, Indonesia masih memiliki populasi muda dengan usia median sekitar 30 tahun, sementara 75-80 persen penduduknya berusia di bawah 50 tahun. Kombinasi fitur-fitur ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tenaga kerja yang sangat besar; yang akan terus bertambah di masa mendatang (karena populasi Indonesia yang terus berkembang), dan oleh karena itu sangat penting agar tersedia cukup lapangan kerja bagi beberapa juta pencari kerja yang masuk angkatan kerja setiap tahunnya; pengangguran kaum muda (di kalangan lulusan baru) khususnya membutuhkan perhatian.

Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir 217 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun pada tahun 2025. Ini disebut kelompok 'usia kerja'. Kelompok ini mengacu pada segmen populasi yang secara tipikal dianggap aktif secara ekonomi atau mampu menjadi aktif secara ekonomi. Kelompok ini sangat penting bagi produktivitas ekonomi suatu negara, karena mewakili potensi angkatan kerja.

Tidak semua orang dalam kelompok usia kerja ini bisa bekerja. Misalnya, sebagian kecil populasi memiliki disabilitas fisik atau mental. Sebagian besar populasi lainnya memang memutuskan untuk tidak bekerja. Kelompok terakhir ini umumnya meliputi mereka yang ingin mengurus rumah tangga dan mereka yang memilih untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 2025, hampir 64 juta penduduk Indonesia -meskipun berusia di atas 15 tahun- tidak bersedia (atau tidak mampu) menjadi bagian dari angkatan kerja.

Sementara itu, angkatan kerja Indonesia berjumlah sedikit di atas 153 juta pada tahun 2025. Angkatan kerja ini (juga disebut tenaga kerja) merujuk pada jumlah total orang yang berstatus dipekerjakan atau aktif mencari pekerjaan (pengangguran).

Tabel 2; Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja:

    2022     2023     2024     2025¹
Penduduk Usia Kerja 209,420,383 212,587,441 215,371,168 216,785,997
Angkatan Kerja 143,722,644 147,707,452 152,107,603 153,049,487
- Bekerja 135,296,713 139,852,377 144,642,004 145,771,180
- Pengangguran   8,425,931   7,855,075   7,465,599   7,278,307
Bukan Angkatan Kerja  65,697,739  64,879,989  63,263,565  63,736,510
- Edukasi  15,609,539  15,796,562  15,774,285  16,774,328
- Mengurus Rumah Tangga  41,249,965  40,227,623  39,270,891  38,286,816
- Lainnya   8,838,235   8,855,804   8,218,389   8,675,366

¹ data dari Februari 2025

[Tabel 2 Berlanjut]:

    2018     2019     2020     2021
Penduduk Usia Kerja 198,126,553 201,185,014 203,972,460 206,708,299
Angkatan Kerja 133,355,571 135,859,695 138,221,938 140,152,575
- Bekerja 126,282,186 128,755,271 128,454,184 131,050,523
- Pengangguran   7,073,385   7,104,424   9,767,754   9,102,052
Bukan Angkatan Kerja  64,770,982  65,325,319  65,750,522  66,555,724
- Edukasi  16,524,382  15,943,345  15,352,639  14,644,442
- Mengurus Rumah Tangga  40,382,209  40,949,704  40,960,652  40,577,943
- Lainnya   7,864,391   8,432,270   9,437,231  11,333,339

[Tabel 2 Berlanjut]:

    1986     1990     2000     2010
Penduduk Usia Kerja 101,156,121 113,087,806 141,170,805 172,070,339
Angkatan Kerja  67,202,063  75,016,338  95,650,961 116,527,546
- Bekerja  65,384,391  73,104,538  89,837,730 108,207,767
- Pengangguran   1,817,672   1,911,800   5,813,231   8,319,779
Bukan Angkatan Kerja  33,954,058  38,071,468  45,519,844  55,542,793
- Edukasi   9,147,830  10,140,224  10,763,473  14,011,778
- Mengurus Rumah Tangga  17,275,478  19,646,090  25,275,187  32,971,456
- Lainnya   7,530,750   8,285,154  9,481,184   8,559,559

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

[...]

Halaman ini sedang diupdate

[...]

Dipekerjakan di sektor informal menyiratkan risiko tertentu karena pekerja sektor informal biasanya memiliki pendapatan yang lebih rendah dan tidak stabil. Lagipula mereka tidak memiliki akses ke perlindungan dan layanan dasar. Sementara itu, arus uang di sektor informal tidak dikenakan pajak dan kegiatan informal tidak dapat dimasukkan dalam perhitungan produk nasional bruto (PNB) atau produk domestik bruto (PDB). Oleh karena itu, pada dasarnya, sektor informal tidak baik bagi pekerja dan tidak baik bagi perekonomian.

Pertumbuhan makro ekonomi yang cukup kuat selama lebih dari satu dekade ini secara berlahan telah mampu menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Namun, dengan kira-kira dua juta penduduk Indonesia yang tiap tahunnya terjun ke dunia kerja, adalah tantangan yang sangat besar buat pemerintah Indonesia untuk menstimulasi penciptaan lahan kerja baru supaya pasar kerja dapat menyerap para pencari kerja yang tiap tahunnya terus bertambah; pengangguran muda (kebanyakan adalah mereka yang baru lulus kuliah) adalah salah satu kekhawatiran utama dan butuh adanya tindakan yang cepat.

Dengan jumlah total penduduk sekitar 260 juta orang, Indonesia adalah negara berpenduduk terpadat keempat di dunia (setelah Cina, India dan Amerika Serikat). Selanjutnya, negara ini juga memiliki populasi penduduk yang muda karena sekitar setengah dari total penduduk Indonesia berumur di bawah 30 tahun. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, indikasinya Indonesia adalah negara yang memiliki kekuatan tenaga kerja yang besar, yang akan berkembang menjadi lebih besar lagi ke depan, maka menekankan pentingnya penciptaan lapangan kerja dalam perekonomian terbesar di Asia Tenggara.

Statistik Tenaga Kerja dan Pengangguran (Absolut) di Indonesia:

dalam juta orang
2016 2017 2018¹
Tenaga Kerja
127.8 128.1 133.9
- Bekerja 120.8 121.0 127.1
- Menganggur   7.0   7.0   6.9
Penduduk Usia Kerja,
Bukan Angkatan Kerja
 63.7  64.0  59.6
- Sekolah  15.9  16.5  15.6
- Mengurus Rumah Tangga  39.3  39.9  36.0
- Lainnya   8.4   7.6   8.0

 ¹ data dari Februari 2018

dalam juta 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Tenaga Kerja
116.5 119.4 120.3 120.2 121.9 122.4
- Bekerja 108.2 111.3 113.0 112.8 114.6 114.8
- Menganggur   8.3   8.1   7.3   7.4   7.2   7.6

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Tabel di bawah ini memperlihatkan angka pengangguran (relatif) di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tabel tersebut menunjukkan penurunan angka pengangguran (yang terbuka) yang cepat di antara tahun 2006 dan 2012 waktu Indonesia diuntungkan saat 2000s commodities boom. Waktu itu ekonomi Indonesia tumbuh dengan cepat maka menghasilkan banyak pekerjaan baru di tengah aktivitas ekonomi yang yang tumbuh. Alhasil, angka pengangguran Indonesia turun.

Tren ini terganggu oleh perlambatan ekonomi Indonesia (2011-2015) ketika boom komoditas tahun 2000an tiba-tiba berakhir di tengah perlambatan ekonomi global. Ini adalah tanda lain bahwa ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada harga komoditas (yang volatil). Oleh karena itu, upaya Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas (yang mentah) dihargai dan harus mengarah pada ekonomi yang lebih kuat secara struktural di masa depan. Seharusnya ini juga berdampak positif pada angka pengangguran di Indonesia.

Pengangguran di Indonesia (Relatif):

  2013 2014 2015 2016 2017 2018
Pengangguran
(% dari total tenaga kerja)
 6.2  5.9  6.2  5.6  5.5  5.1

 

  2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pengangguran
(% dari total tenaga kerja)
10.3  9.1  8.4  7.9  7.1  6.6  6.1

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Kalau kita melihat pengangguran di perkotaan dan pedesaan di Indonesia, maka kita dapat melihat bahwa pengangguran - secara signifikan - lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Yang tidak kalah menariknya yaitu kesenjangan antara pengangguran perkotaan dan pedesaan melebar selama empat tahun terakhir karena pengangguran pedesaan telah menurun lebih cepat daripada pengangguran di perkotaan. Penjelasan untuk tren ini adalah bahwa banyak orang pedesaan pindah ke daerah perkotaan dalam rangka mencari peluang kerja.

Indonesia sedang mengalami proses urbanisasi yang cepat. Saat ini lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Di satu sisi, ini adalah perkembangan positif karena urbanisasi dan industrialisasi diperlukan untuk tumbuh menjadi negara yang berpenghasilan menengah (middle income country). Di sisi lain, proses ini perlu disertai dengan penciptaan lapangan kerja yang memadai di kota-kota. Oleh karena itu, investasi (baik domestik maupun asing) perlu meningkat di daerah perkotaan yang sudah ada atau daerah urban yang baru. Dengan demikian, pemerintah Indonesia harus membuat iklim investasi lebih menarik sehingga menghasilkan lebih banyak investasi.

Isu-isu penting (yang merupakan tanggung jawab pemerintah) adalah penguatan sumber daya manusia Indonesia (sumber daya manusia mengacu pada pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan seorang karyawan). Kualitas sumber daya manusia lokal dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan. Saat ini banyak perusahaan mengeluh bahwa sumber daya manusia Indonesia terlalu lemah. Ini berarti bahwa investor lebih suka berinvestasi di negara lain (di mana kualitas pekerja lebih tinggi), sehingga menyebabkan hilangnya peluang dalam hal penciptaan lapangan kerja di Indonesia.

Pengangguran Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia:

  2014 2015 2016 2017
Pengangguran Nasional
(% dari total tenaga kerja)
 5.9  6.2  5.6  5.5
- Pengangguran Perkotaan
(% dari total tenaga kerja perkotaan)
 7.1  7.3  6.6  6.8
- Pengangguran Perdesaan
(% dari total tenaga kerja perdesaan)
 4.8  4.9  4.5  4.0

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Sementara itu, relatif sedikit perempuan yang bekerja di Indonesia (di sektor formal). Hanya sekitar separuh dari perempuan Indonesia yang di usia kerja yang jadi bekerja dalam pekerjaan formal. Namun, angka ini sebenarnya sedikit lebih tinggi dari tingkat (rata-rata) partisipasi angkatan kerja perempuan dunia sebesar 49 persen pada tahun 2017 (data dari Bank Dunia). Namun, dibandingkan dengan pria Indonesia, tingkat partisipasi tenaga kerja wanita rendah. Sekitar 83 persen pria Indonesia (di usia kerja) bekerja di sektor formal.

Ada dua penjelasan dasar untuk situasi ini:

(1) Tradisi/budaya; wanita Indonesia lebih cenderung (daripada pria) untuk mengurus rumah tangga, terutama setelah melahirkan anak.

(2) Ke(tidak)setaraan gender; perempuan Indonesia cenderung bekerja di sektor informal (dua kali lebih banyak daripada laki-laki). Ada banyak contoh pekerja perempuan informal di pabrik (misalnya pabrik garmen) atau yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau yang buka usaha informal di rumah (misalnya menjual masakan dimasak sendiri). Juga patut dicatat bahwa sebagian besar pekerja perempuan informal ini adalah pekerja yang tidak dibayar. Dan mereka yang menerima penghasilan biasanya mendapatkan bayaran kurang dari pria untuk pekerjaan yang sama. Sebagaimana disebutkan di atas, bekerja di sektor informal membawa risiko karena pekerja sektor informal biasanya memiliki pendapatan yang rendah dan tidak stabil, apalagi mereka tidak memiliki akses ke perlindungan dan layanan (kesehatan) dasar.

Penurunan yang terjadi secara perlahan dan berkelanjutan, khususnya angka pengangguran wanita. Pengangguran wanita berkurang secara drastis, bahkan mulai mendekati angka pengangguran pria. Meskipun demikian, masalah persamaan gender, seperti di negara-negara lain, masih menjadi isu penting di Indonesia. Meski sudah ada kemajuan dalam beberapa sektor utama (seperti pendidikan dan kesehatan), wanita masih cenderung bekerja di bidang informal (dua kali lebih banyak dari pria), mengerjakan pekerjaan tingkat rendah dan dibayar lebih rendah daripada pria yang melakukan pekerjaan yang sama. Meskipun banyak kemajuan telah dicapai di beberapa bidang (teritama pendidikan dan kesehatan), perempuan masih lebih mungkin bekerja di sektor informal, dalam pekerjaan yang bayarannya rendah, dan dibayar lebih rendah daripada laki-laki untuk pekerjaan serupa.

Sebenarnya, Bank Dunia mendeteksi penurunan cepat pengangguran perempuan di Indonesia pada akhir tahun 2000an di tengah boom komoditas (mungkin karena penurunan ini berasal dari low base). Bahkan, pengangguran perempuan turun jauh lebih cepat daripada tingkat pengangguran laki-laki Indonesia pada waktu itu. Sayangnya, Bank Dunia berhenti merilis tingkat pengangguran perempuan Indonesia setelah tahun 2010.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Laki-Laki dan Perempuan:

  2016 2017 2018
Pengangguran Total
(% dari angkatan kerja)
 5.61  5.50
TPAK
(% dari angkatan kerja)
66.34 66.67
TPAK Laki-Laki
(% dari total angkatan kerja laki2)
81.97 82.51
TPAK Perempuan
(% dari total angkatan kerja perempuan)
50.77 50.89

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

Salah satu karakteristik Indonesia adalah bahwa angka pengangguran cukup tinggi yang dihadapi oleh tenaga kerja muda usia 15 sampai 24 tahun, jauh lebih tinggi dari angka rata-rata pengangguran secara nasional. Mahasiswa yang baru lulus dari universitas dan siswa sekolah kejuruan dan menengah mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di pasar kerja nasional. Hampir setengah dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia hanya memiliki ijazah sekolah dasar saja. Semakin tinggi pendidikannya semakin rendah partisipasinya dalam kekuatan tenaga kerja Indonesia. Meskipun demikian dalam beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan tren: pangsa pemegang ijazah pendidikan tinggi semakin besar, dan pangsa pemegang ijazah pendidikan dasar semakin berkurang.

    2006   2007   2008   2009   2010   2011
Pengangguran Muda Pria
(persentase tenaga kerja pria
15-24 tahun)
  27.7   23.8   21.8   21.6   21.1   19.3
Pengangguran Muda Wanita
(persentase tenaga kerja wanita
15-24 tahun)
  34.3   27.3   25.5   23.0   22.0   21.0

Sumber: Bank Dunia

Sektor pertanian tetap berada di posisi teratas dalam hal penyerapan tenaga kerja. Tabel di bawah ini memperlihatkan empat sektor terpopuler yang menyerap paling banyak tenaga kerja di tahun 2011 dan setelahnya.

Tenaga Kerja per Sektor:

dalam juta 2011 2012 2013 2014 2015 2016¹
Pertanian 42.5 39.9 39.2 39.0 37.8 38.3
Pedagang Grosir, Pedagang Ritel,
Restoran dan Hotel
23.2 23.6 24.1 24.8 25.7 28.5
Jasa masyarakat, Sosial dan Pribadi 17.0 17.4 18.5 18.4 17.9 19.8
Industri Manufaktur 13.7 15.6 15.0 15.3 15.3 16.0

¹ data dari Februari 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik

Pekerjaan rentan (tenaga kerja yang tidak dibayar dan pengusaha) baik untuk pria maupun wanita angkanya lebih tinggi di Indonesia daripada di negara-negara maju atau berkembang lainnya. Dalam satu dekade terakhir ini tercatat sekitar enam puluh persen untuk pria Indonesia dan tujuh puluh persen untuk wanita. Banyak yang merupakan 'pekerja rentan' adalah mereka yang bekerja di sektor informal.