Nilai rupiah saat ini dekat dengan nilai terendah selama 17 tahun terakhir. Pada akhir 1998. Indonesia - negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara - berada pada tahapan awal untuk pulih dari Krisis Finansial Asia. Krisis ini menjadi salah satu momentum perubahan terbesar dalam sejarah modern Indonesia, memulai suatu krisis finansial namun dengan cepat meluas pada krisis sosial dan politik yang mengakhiri rezim otoriter Orde Baru di bawah Presiden Suharto. Di antara negara-negara di Asia Tenggara, Indonesa menjadi salah satu yang mendapat pukulan paling keras akibat krisis ini dan hal ini memutarbalikkan begitu banyak perkembangan ekonomi di bawah rejim Orde Baru Suharto (contohnya angka kemiskinan penduduk menurun dari 11% menjadi 19,9% di akhir 1998). Oleh karena itu, bagi banyak orang Indonesia, pelaku pasar dan para pembuat kebijakan, nilai tukar rupiah yang lemah saat ini membawa kenangan-kenangan buruk.

Kendati mengalami pelemahan di luar asumsi makroekonomi Pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 (APBN-P 2015), di mana nilai rupiah diperkirakan Rp 12,500 per dollar AS, Menteri Keuangan Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa nilai tukar rupiah yang lemah saat ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada defisit APBN. Baik bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) dan Kementrian Keuangan telah memperhitungkan dampak penurunan nilai rupiah pada defisit APBN dan menyimpulkan bahwa dampaknya kecil. (karena hukum defisit anggaran Indonesia diharuskan untuk dijaga di bawah 3% dari produk domestik bruto). Pemerintah mengharapkan bahwa APBN tahun ini akan mengalami defisit Rp 245,9 triliun, setara dengan 2,21% dari PDB. Menurut perhitungan, defisit APBN bertambah antara Rp 3,5 triliun sampai Rp 4,2 triliun untuk setiap penurunan nilai Rp 100 terhadap dollar AS.

Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi pasar untuk melawan votalitas yang tinggi (sebuah tindakan yang disukai para investor). Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara menekankan bahwa publik seharusnya tidak melupakan bahwa rupiah bukan satu-satunya mata uang yang telah melemah nilainya terhadap dollar AS karena dollar AS menguat di seluruh dunia. Sementara itu, salah satu perkembangan positif untuk rupiah adalah naiknya cadangan devisa Indonesia. Pada hari Jumat (06/03), BI mengumumkan bahwa cadangan devisa ada di angka 115,5 miliar dollar AS pada akhir Februari, dari 114,2 miliar dollar AS pada bulan sebelumnya. Petumbuhan ini (terutama) disebabkan karena surplus di neraca minyak dan gas.

Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan BI (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) menguat 0,29% ke angka Rp 12.983 per dollar AS pada hari Jumat (06/03).

Rupiah Indonesia versus Dollar AS:

| Source: Bank Indonesia

Mengapa Nilai Tukar Rupiah Melemah?

• Para investor mengantisipasi tingkat suku bunga pinjam AS yang lebih tinggi. Keputusan US Federal Reserve untuk meningkatkan biaya-biaya peminjaman diperkirakan akan menyebabkan capital outflows dari pasar negara-negara berkembang karena perbedaan antar keuntungan dari pasar negara-negara berkembang dan pasar AS menjadi semakin kecil. Data ekonomi terbaru AS mengindikasikan bahwa negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini telah mengalami pemulihan ekonomi struktural, makanya diperkirakan suku bunga pinjaman AS akan meningkat lebih cepat, menyebabkan momentum penguatan nilai dollar AS baru-baru ini. Serupa dengan hal ini, ketika Federal Reserve mulai berspekulasi pada pertengahan 2013 mengenai pengurangan dari program pelonggaran kebijakan moneter (quantitative easing), nilai tukar rupiah mulai melemah secara tajam. Pada 2013, mata uang Indonesia berkurang nilainya sebanyak 25% terhadap dollar AS karena para investor bersiap-siap untuk pengetatan moneter di AS.

• Sebagai mitra dagang utama Indonesia, perlambatan ekonomi di Republik Rakyat Tionghoa (RRT) juga akan memberikan dampak negatif pada Indonesia, bukan hanya dalam pengertian ekspansi ekonomi namun juga mengenai nilai mata uang. Minggu lalu, para pembuat kebijakan di RRT mengatakan bahwa perekonomian RRT diduga hanya akan meningkat 7% (year-on-year) di 2015, menurun secara signifikan dari dugaan awal 7,5% (y/y) dan merupakan target pertumbuhan terendah untuk RRT dalam 15 tahun terakhir. Ekonomi RRT yang melemah akan menyebabkan penurunan permintaan untuk produk-produk ekspor Indonesia dan karena itu menekan neraca perdagangan Indonesia dan nilai tukar rupiah.

• Indonesia telah mengalami defisit transaksi berjalan struktural sejak 2011. Defisit ini menandakan bahwa negara ini tergantung pada masuknya modal asing dan karena itu membuat negara ini rentan terhadap capital outflows pada masa-masa sulit perekonomian (contohnya tingkat suku bunga pinjaman AS yang lebih tinggi diduga akan diimplementasikan pada pertengahan 2015). Defisit transaksi berjalan saat ini - pengukuran paling luas untuk perdagangan barang dan jasa - membaik menjadi 2,81% PDB, atau 6,2 miliar dollar AS, pada kuartal ke-4 tahun 2014 (dari revisi 2,99% PDB pada kuartal sebelumnya). Sepanjang tahun 2014, defisit transaksi berjalan adalah 26,2 miliar dollar AS, setara dengan 2,95% PDB dari defisit (yang telah direvisi) senilai 29,1 miliar dollar AS (3,18% dari PDB) pada 2013. Secara umum, defisit transaksi berjalan yang melewati 3% dari PDB dianggap tidak stabil. Indonesia masih sangat dekat dengan batasan ini. Bank Indonesia memperkirakan bahwa defisit akan bertambah menjadi sekitar 3,1% dari PDB di 2015.

• Di pertengahan Februari, BI melakukan tindakan yang mengejutkan dengan memotong suku bunga pinjamannya (BI rate) sebanyak 25 basis poin menjadi 7,5%. Sekalipun ini membuka ruang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tindakan ini juga menekan nilai tukar rupiah.

• Sekalipun kekuatiran-kekuatiran sudah mulai berkurang dalam satu minggu terakhir, kemungkinan keluarnya Yunani dari Uni Eropa (dan/atau default) akan membawa masalah bagi aset-aset di pasar-pasar negara berkembang. Pemerintah Yunani tampaknya berkomitmen untuk melaksanakan reformasi dan melakukan pembayaran pertama senilai 300 juta euro pada International Monetary Fund (IMF) di hari Jumat. Namun, kerja sama antara institusi-institusi Eropa dan Pemerintah Yunani tetap berada di 'jalan yang licin dan tidak jelas'.

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah mencatat rekor tertinggi dalam sejarah. Pada hari Jumat (06/03), IHSG naik 1,17% ke 5.514,78 poin. Kenaikan ini disebabkan terutama karena dana-dana asing yang masuk ke pasar. Seperti biasa, saham-saham blue chip Indonesia lah yang mendapatkan keuntungan paling banyak ketika investor-investor asing mencatat net buying. Sentimen pasar yang positif disebabkan karena BI menyatakan bahwa cadangan devisa Indonesia bertumbuh pada Februari 2015 dan sedikit menaikkan nilai tukar rupiah di hari Jumat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):

Bahas