Perlambatan pertumbuhan ekonomi, melemahnya daya beli dan menurunnya aktivitas di sektor manufaktur dan jasa RRT (sektor jasa merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto negara itu) berjalan seiring dengan penurunan permintaan untuk impor. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan di Indonesia, ekspor non-migas Indonesia ke RRT menurun dari nilai total 21,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2011 menjadi 16,5 miliar dollar AS pada 2014.

Tren ini berlanjut ke tahun 2015. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2015 ekspor Indonesia bernilai total 11,0 miliar dollar AS (non-migas) ke RRT, turun 20,3% dari nilai ekspor ke RRT pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Sementara itu, impor dari RRT ke Indonesia terus tumbuh sehingga menimbulkan defisit neraca perdagangan yang terus melebar di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut. Data dari Kementerian Perdagangan Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2010 Indonesia mengimpor (non-migas) senilai total Rp 19,7 miliar dari RRT. Nilai impor tumbuh menjadi Rp 30,5 miliar pada tahun 2014.

Kekuatiran tentang ekonomi RRT dan rendahnya harga minyak dunia (yang disebabkan oleh pertumbuhan global yang lesu dan melimpahnya pasokan minyak karena hasil produksi minyak yang besar secara terus-menerus di AS dan negara-negara anggota OPEC) juga merupakan alasan di balik rendahnya harga-harga komoditi. Karena kinerja ekspor Indonesia sangat tergantung pada ekspor komoditi (mentah) - seperti batubara dan minyak sawit mentah - Indonesia segera merasakan dampak dari harga komoditi yang lebih rendah. Kinerja ekspor yang lemah juga bertanggung jawab atas lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia (sebuah tren yang dimulai pada 2011 dan diperkirakan akan berlangsung sampai tahun 2015).

Karena permintaan luar negeri untuk ekspor Indonesia terbatas, industri manufaktur Indonesia juga terpengaruh. Menurut survei terbaru dari Nikkei, sektor manufaktur Indonesia mengalami kontraksi dalam 15 bulan berturut-turut di Desember 2015.

Ekspor Komoditi Utama dari Indonesia ke Cina:

   2010  2011  2012  2013  2014 Jan-Okt
  2015
Minyak Sawit Mentah
(in million USD)
1,866.5 2,109.5 2,600.0 1,794.1 1,789.8 1,568.2
Kopi
(in million USD)
   5.5    7.2   26.7   21.6   13.4   21.9
Tekstil & Produk Tekstil
(in million USD)
 300.9  388.4  448.2  573.1  614.3  561.0
Karet & Produk Karet
(in million USD)
1,416.1 2,006.9 1,736.0 1,550.9  803.1  431.7
Cocoa
(in million USD)
  45.8   92.5   57.2   32.1   50.8   58.1

Sumber: Kementerian Perdagangan

Neraca Perdagangan Indonesia-Cina (non-migas):

    2010   2011   2012   2013   2014 Jan-Okt
  2015
Ekspor ke Cina
(in USD billion)
   14.1    21.6    20.9    21.3    16.5    11.0
Impor dari China
(in USD billion)
   19.7    25.5    29.0    29.6    30.5    23.9
Neraca Perdagangan
(in USD billion)
   -5.6    -3.9    -8.1    -8.3   -14.0   -12.8

Sumber: Kementerian Perdagangan

Tetap ada juga risiko spill-over dari lemahnya kinerja saham dan yuan RRT. Pada hari Senin (4/1), Shanghai Composite Index RRT turun hampir 7% karena data makro ekonomi RRT yang lemah dan masalah geopolitik antara Arab Saudi dan Iran. Panic Selling di RRT menyeret turun kinerja saham di seluruh dunia. Perusahaan-perusaahan (terdaftar) yang bergantung pada pesanan dari RRT merasakan tekanan (ini terutama melibatkan perusahaan-perusahaan pertambangan karena RRT adalah pembeli terbesar produk pertambangan Indonesia).

Selain itu, RRT mungkin akan semakin mendevaluasi yuan untuk meningkatkan kinerja ekspornya (dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa). Ini berarti bahwa negara-negara Asia lainnya perlu untuk melemahkan mata uang mereka untuk menjaga daya saing produk ekspor mereka. Rupiah yang lemah menyebabkan masalah bagi perusahaan-perusahaan Indonesia yang perlu mengimpor bahan baku (dalam dollar AS) untuk menghasilkan produk mereka.

Bahas