Setelah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) selama dua hari yang berakhir pada hari Rabu (18/03), Gubernur bank sentral AS Janet Yellen mengatakan bahwa Fed menunda menaikkan suku bunga AS karena tingkat inflasi yang masih rendah dan juga pertumbuhan ekonomi AS yang agak melambat. Fed juga menginformasikan kepada pasar bahwa kenaikan suku bunga kemungkinan juga tidak akan terjadi pada pertemuan FOMC selanjutnya di bulan April. Di sisi lain, Federal Reserve menghapuskan kata 'sabar' dari panduannya mengenai suku bunga dan karenanya pasar percaya bahwa kenaikan mungkin akan terjadi pada (akhir) musim panas tahun ini apabila pasar tenaga kerja AS terus membaik dan inflasi ada di sekitar 2%.

Pernyataan-pernyataan ini menyebabkan penguatan di aset pasar negara-negara berkembang pada hari Kamis (19/03). Contohnya, rupiah menguat 1,19% terhadap dollar AS berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR). Namun, sehari kemudian JISDOR (nilai tukar rupiah yang menjadi acuan bank sentral Indonesia) menurun 0,52% menjadi Rp 13.075 per dollar AS.


Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia


Meskipun yang terjadi hanya lah momentum jangka pendek karena hasil pertemuan FOMC oleh Federal Reserve, mata uang-mata uang Asia sedang menjalani minggu yang baik. Bloomberg-JPMorgan Asia Dollar Index, yang mencakup sepuluh mata uang Asia yang paling banyak diperdagangkan (kecuali yen Jepang), naik 0,9%. Ini merupakan kenaikan paling tinggi sejak Desember 2011. Nilai tukar rupiah naik 0,88% terhadap dollar AS selama 1 minggu terakhir yang merupakan kenaikan terbesar dalam lima bulan terakhir.

Performa ini didukung oleh keputusan Bank Indonesia (BI) pada hari Selasa (17/03) untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada 7,50% (setelah membuat kejutan dengan memotongnya sebanyak 25 basis poin pada bulan sebelumnya). Keputusannya untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga adalah sinyal bahwa BI memprioritaskan kuatnya rupiah dan ini menyediakan dukungan jangka pendek untuk rupiah.

Bank sentral Indonesia juga bertujuan memperkuat tindakan-tindakan untuk memastikan stabilitas rupiah. Oleh karena itu, BI sedikit mengganti nada ucapannya. Pada bulan lalu, BI memberikan sinyal bahwa bukan masalah apabila nilai tukar rupiah lemah karena bisa mendongkrak ekspor Indonesia dan karenanya mengurangi defisit transaksi berjalan yang besar.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia akan melaksanakan sejumlah reformasi yang bertujuan untuk mendukung perekonomian, termasuk mata uang. Pemerintah secara spesifik menargetkan untuk mendongkrak ekspor sambil membatasi impor sebagai tindakan untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan. Reformasi-reformasi ini termasuk membebaskan pajak pertambahan nilai bagai para pembuat kapal dan industri-industri strategis lain, menerapkan pajak anti-dumping sementara, meningkatakan batasan kandungan biofuel di diesel menjadi 15%. menyediakan keringanan pajak untuk perusahaan-perusahaan berorientasi ekspor, memperluas pembebasan visa kunjungan singkat kepada warga dari 30 negara, merger perusahaan-perusahaan reasuransi badan usaha milik negara, dan mengharuskan semua eksportir komoditi untuk menggunakan letter of credit (L/C) dalam penjualan produk-produk mereka.

Pemerintah positif bahwa karena Federal Reserve menunda meningkatkan suku bunga AS, ada lebih banyak waktu bagi Indonesia untuk mengimplementasikan reformasi-reformasi ini dan karenanya Indonesia bisa memiliki fundamental perekonomian yang lebih baik nanti saat suku bunga AS dinaikkan. Hal ini mungkin akan mengurangi jumlah capital outflow besar-besaran dari negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara karena pengetatan moneter AS.

Namun, karena pasar Indonesia memiliki tingkat kepemilikan asing yang relatif tinggi, negara ini tetap lebih rentan dibandingkan yang lainnya terhadap capital outflow. Sekitar 38% dari obligasi berdenominasi rupiah ada di tangan investor asing. Karena alasan ini, McKinsey & Co menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang menghadapi risiko "capital outflow mendadak dan pelemahan nilai mata uang bila AS menaikkan suku bunga" terutama karena negara ini telah mengalami defisit transaksi berjalan struktural sejak akhir 2011.

Morgan Stanley lebih optimistis mengenai Indonesia dan baru-baru ini memindahkan rupiah (dan juga rupee India) dari daftar "lima mata uang rapuh", dengan argumen bahwa Pemerintah dan bank sentral Indonesia telah melaksanakan reformasi-reformasi ekonomi yang sangat signifikan (terutama reformasi kebijakan harga bahan bakar minyak bersubsidi).

Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,20% ke 5.443,06 poin pada hari Jumat (20/03).


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):

Bahas