Bank Indonesia menekankan bahwa pelemahan rupiah baru-baru ini adalah tren normal mengingat ancaman pengetatan moneter di Amerika Serikat (AS). Sejak Mei 2013, dollar AS telah mengalami momentum bullish karena ancaman pengurangan program quantitative easing AS. Momentum ini terus berlanjut karena Federal Reserve AS diprediksi akan menaikkan suku bunga sebelum akhir tahun ini. Waktu kenaikan suku bunga itu bergantung pada data dan karenanya tiap kali data makroekonomi AS yang positif diterbitkan terjadi penambahan tekanan terhadap rupiah (dan juga kebanyakan mata uang-mata uang global lainnya). Data AS terbaru yang meningkatkan prediksi kenaikan suku bunga AS di kemudian hari di tahun ini adalah penjualan ulang rumah AS (yang bertumbuh ke level tertingginya selama hampir 8,5 tahun).

Oleh karena itu, Bank Indonesia mengklaim bahwa pelemahan rupiah terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, dan tidak begitu dipengaruhi faktor-faktor domestik. Memang betul bahwa momentum bullish dollar AS menyebabkan tekanan melemah yang sangat besar terhadap rupiah. Tetapi kondisi domestik juga mempengaruhi tingkat pelemahan rupiah. Ada beberapa masalah yang menggerus kepercayaan para investor terhadap rupiah dan karenanya memberikan tekanan tambahan. Dua masalah penting adalah kelanjutan perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia (disebabkan oleh performa ekspor yang lemah akibat melemahnya permintaan untuk komoditi-komoditi, tingkat suku bunga Indonesia yang tinggi, dan belanja Pemerintah yang lemah), dan defisit transaksi berjalan Indonesia yang lebar.

Pada awal minggu ini, Bank Indonesia merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2015 dari cakupan 5,0 - 5,4% menjadi cakupan 5,0 - 5,2%. Meskipun begitu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan bahwa target baru ini hanya bisa dipenuhi bila Pemerintah Indonesia mendongkrak pembangunan infrastruktur. Tahun ini, anggaran untuk pembangunan infrastruktur dinaikkan menjadi Rp 290,3 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 (setelah subsidi bahan bakar telah hampir dihapus sepenuhnya di Januari 2015). Namun, Pemerintah memiliki masalah serius dalam membelanjakan anggaran itu yang ikut disebabkan oleh pertarungan internal birokrasi dan kerjasama yang lemah antar kementerian, lembaga-lembaga pemerintah yang lain dan pemerintah-pemerintah daerah. Bulan lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa Pemerintah baru menghabiskan kira-kira 8% dari total anggaran infrastruktur di enam bulan pertama tahun 2015, mengimplikasikannya adanya masalah yang parah. Banyak pihak menganggap pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah adalah kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan eknomi karena berbagai sektor yang berkaitan dengan infrastruktur akan bertumbuh sejalan dengan itu.

Oleh karena itu, mungkin bahwa perlambatan perekonomian, yang dimulai di tahun 2011, akan berlanjut. Baru-baru ini, Bank Dunia merevisi turun proyeksi 2015 untuk Indonesia menjadi 4,7% dari sebelumnya 5%, sementara Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) memotong proyeksi untuk Indonesia dari 5,5% menjadi 5%. Di kuartal 1 tahun 2015, perekonomian Indonesia bertumbuh pada kecepatan 4,71% (y/y) yang merupakan kecepatan terlambat dalam lima tahun terakhir. Di awal Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) akan menerbitkan angka produk domestik bruto (PDB) resmi untuk kuartal 2 tahun 2015. Meskipun begitu, angka ini diperkirakan akan sama dengan kecepatan pertumbuhan di kuartal sebelumnya karena ekspor dan impor Indonesia telah melemah (belum ada rebound dalam harga-harga komoditi) dan konsumsi domestik tetap lambat.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia diprediksi untuk melebar menjadi 2,3% dari PDB di kuartal 2 tahun 2015 dari 1,85% PDB di kuartal 1 tahun 2015. Meskipun begitu, normal untuk CAD melemah di kuartal 2 setiap tahunnya karena perusahaan-perusahaan asing mengembalikan dividen mereka keluar negeri sementara impor meningkat karena perayaan-perayaan Ramadan dan Idul Fitri. Kalau dibandingkan dengan CAD sebesar 4,27% dari PDB di kuartal 2 tahun 2014, proyeksi CAD sebesar 2,3% untuk kuartal 2 tahun 2015 sebenarnya menunjukkan perbaikan yang besar. Meskipun begitu, mengingat ekspor Indonesia telah menurun, hal ini membuat negara ini lebih bergantung pada inflow portfolio yang tidak stabil (yang dapat dengan cepat berubah menjadi outflow pada masa guncangan perekonomian global).

Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) melemah 0,19% menjadi Rp 13.394 per dollar AS pada hari Kamis (23/07).

Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia

Sejauh ini di tahun ini, rupiah telah melemah 7,7% terhadap dollar AS, membuatnya menjadi mata uang negara berkembang Asia dengan performa terburuk setelah ringgit Malaysia (yang telah dibebani dengan harga minyak Brent dan minyak sawit yang rendah).

Bahas