Suku bunga acuan Federal Reserve Amerika Serikat (AS) telah mendekati hampir nol persen sejak tahun 2008 ketika sebuah krisis global menganggu pasar. Dikombinasikan dengan kebijakan-kebijakan quantitative easing (QE) AS, kebijakan moneter AS mendongkrak saham di seluruh dunia, terutama aset-aset pasar negara berkembang yang (kendati lebih berisiko) lebih menarik (termasuk saham dan rupiah Indonesia). Kendati begitu, dengan berakhirnya kebijakan QE dan suku bunga AS akan menjadi lebih menarik, arah aliran modal berbalik.

Kebanyakan investor dan analis memperkirakan Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan Desember karena persentase tenaga kerja dan inflasi sudah mengarah ke arah yang benar. Sementara itu, para pejabat Federal Reserve telah berkali-kali menekankan pentingnya menaikan suku bunga acuan sebelum akhir tahun (dalam rangka untuk tidak mengejutkan pasar). Diprediksi akan terjadi kenaikan yang lumayan sebesar 0,25% poin.

Sementara itu, harga minyak dunia telah melemah ke level terendah dalam tujuh tahun terakhir karena kekuatiran mengenai oversuplai yang terus-menerus setelah OPEC tidak jadi menetapkan batasan jumlah hasil produksi. Harga minyak yang rendah adalah sinyal buruk bagi harga komoditi yang lain (dan kegiatan ekonomi global). Hal ini menjadi masalah terutama bagi negara-negara yang mengandalkan ekspor komoditi (seperti Indonesia).

Harga Minyak:

Mengenai rupiah, ada tambahan tekanan dari permintaan dollar AS yang relatif tinggi di tingkat lokal untul pembayaran hutang global perusahaan-perusahaan Indonesia pada akhir tahun.

Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) turun 1,00% menjadi Rp 14.076 per dollar AS pada hari Senin (14/12).

Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia

Bahas