Purnomo menyatakan bahwa selama satu dekade terakhir kebakaran hutan cenderung terjadi sebelum dan setelah pemilihan umum di daerah karena para kandidat (bekerjasama dengan para pengusaha lokal) memberikan tanah (atau hak guna tanah) kepada para pemilih lokal (kemungkinan kepada kepala-kepala desa yang kemudian memberikannya kepada para penduduk lokal) sebagai ganti dukungan dalam pemilihan umum. Terlebih lagi, penegakan hukum negara ini yang terkenal lemah memperparah kondisi ini.

Pada tahun ini, Indonesia akan menjalankan lebih dari 250 pemilihan umum daerah (dijadwalkan pada tanggal 9 Desember 2015). Mendapatkan kekuasaan sebagai kepala daerah sangat menguntungkan karena bisa mendapatkan akses kepada dana Pemerintah Pusat dan memiliki kekuasaan untuk memberikan izin-izin usaha (contohnya dalam sektor pertambangan dan pertanian). Setiap lima tahun, Indonesia mengorganisir pemilihan-pemilihan legislatif pusat dan daerah (serta pemilu presiden). Sejak akhir rezim otoriter Orde Baru Suharto dan awal era Reformasi, desentralisasi telah memberikan kekuatan yang signifikan kepada daerah-daerah, lepas dari Pemerintah Pusat. Bersama dengan kekuasaan, korupsi juga ikut terdesentralisasi.

Menurut berita-berita yang dilaporkan media, kebakaran yang masih terjadi (yang dimulai sejak bulan Juli) telah merusak lebih dari 2 juta hektar hutan dan lahan gambut yang berharga. Pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa biaya kerugian bisa mencapai 40 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Sementara itu, Greenpeace menyatakan bahwa kebakaran hutan terjadi di tanah yang dimiliki oleh sekitar 2.000 perusahaan pulpwood, minyak sawit, dan tambang batubara. World Resources Institute menerbitkan data di bulan September yang mengklaim bahwa lebih dari 37% kebakaran di Sumatra terjadi di lahan konsesi perusahaan-perusahaan pulpwood dan sebagian besar lainnya terjadi di - atau dekat dengan - lahan yang digunakan perusahaan-perusahaan minyak sawit.

Ekspansi industri minyak sawit dan pulp & paper Indonesia adalah alasan khusus di balik penggundulan hutan dan kebakaran-kebakaran yang menghancurkan. Praktek tebang bakar, fenomena musiman, adalah cara termurah untuk membersihkan lahan dengan konsekuensi hukum yang hampir tidak ada karena penegakan hukum di Indonesia lemah (meskipun hukum yang ada telah menyatakan praktek tebang bakar sebagai praktek ilegal). Perusahaan-perusahaan ini juga merupakan penyebab cadangan air yang lebih rendah karena mereka mendirikan jalan-jalan dan jaringan saluran air yang mengeringkan rawa bakau sehingga meningkatkan risiko api.

Sementara itu, fenomena cuaca El Nino memperburuk kebakaran hutan karena hal ini menyebabkan kekeringan yang berat di Asia Tenggara. Di Indonesia musim kemarau biasanya terjadi dari periode Mei sampai Agustus. Namun, karena El Nino dibutuhkan waktu sampai Oktober-November untuk hujan turun di negara ini.

Bahas