Apabila dilihat lebih dalam, permintaan domestik di Indonesia sangat didominasi oleh komponen konsumi rumah tangga. Peran konsumsi rumah tangga berkisar antara 53-58 persen terhadap permintaan domestik. Dengan peran yang sedemikian besar menjadikan perkembangan komponen konsumsi rumah tangga memiliki pengaruh yang besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Indonesia.

Sepanjang Q1 2010 hingga Q1 2015 LPE Indonesia (y-on-y) berada pada kisaran 4,71-6,76 persen, dengan kecenderungan melambat. Pada kurun waktu yang sama sumber pertumbuhan (source of growth-SoG) konsumsi rumah tangga berada pada kisaran 2,30-3,18 persen, dengan kecenderungan meningkat (Gambar 1). SoG konsumsi rumah tangga tertinggi terjadi pada Q1 2015 dengan nilai 2,75 persen yang berarti bahwa dari capaian LPE 4,71 persen, 2,75 persen diantaranya merupakan kontribusi dari konsumsi rumah tangga, sedangkan 1,96 persen lainnya merupakan bauran dari komponen-komponen lain.

Besarnya pengaruh konsumsi rumah tangga terhadap PDB Indonesia secara struktural terutama dipengaruhi oleh faktor jumlah, pertumbuhan dan struktur umur penduduk, perubahan budaya, dan pertumbuhan ekonomi.

Data resmi proyeksi penduduk Indonesia yang disusun oleh Bappenas, BPS, UNFPA, dan para pakar demografi memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 mencapai 238,52 juta dan diproyeksikan akan mencapai 305,65 juta pada tahun 2035. Dengan jumlah ini, Indonesia menjadi negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Data yang sama juga mengungkap bahwa saat ini Indonesia memperoleh bonus demografi, dimana struktur umur penduduk didominasi oleh usia 15-64 tahun. Kondisi seperti ini membawa keuntungan bagi ekonomi Indonesia. Bonus demografi menyediakan tenaga kerja yang cukup bagi sektor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Di sisi yang lain, bonus demografi juga menyediakan konsumen yang potensial bagi barang dan jasa yang dihasilkan. Penduduk pada usia yang aktif secara ekonomi umumnya memiliki kebutuhan dan daya beli yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang tidak aktif.

Faktor lain yang secara struktural berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga adalah pergeseran budaya, seiring berkembangnya teknologi dan meningkatnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Berkembangnya teknologi telah mendorong meningkatnya ragam barang dan jasa yang dihasilkan, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan telah mendorong perubahan gaya hidup masyarakat. Pada tahun 2010 jumlah penduduk perkotaan mencapai 49,8 persen, angka terus meningkat dan pada tahun 2035 diperkirakan bisa mencapai 66,6 persen.

Salah satu kebiasaan hidup yang sangat terasa pergeserannya adalah perubahan interaksi ekonomi dari yang bersifat non-transaksi dan tidak berbayar, seperti aktivitas yang dilakukan sendiri (do it yor self) dan aktivitas ekonomi suka rela (voluntary activity), menjadi transaksi yang berbayar. Perubahan gaya hidup juga telah mendorong kecenderungan masyarakat untuk lebih menyukai layanan yang lebih profesional dan bersifat instan.

Contoh yang paling lazim ditemui adalah bila pada jaman dahulu masyarakat lebih cenderung membeli bahan baku untuk diolah sendiri, saat ini lebih cenderung untuk membeli barang dalam bentuk yang sudah jadi. Contoh lain adalah bila jaman dahulu masyarakat saling tolong-menolong secara suka rela dalam memenuhi kebutuhan akan jasa, seperti potong rambut, pijat/urut, gotong royong memperbaiki rumah, dan jasa lainnya, saat ini hampir semua kebutuhan itu dipenuhi oleh layanan yang profesional. Pergeseran budaya ini menyebakan nilai konsumsi rumah tangga menjadi lebih besar karena transaksinya menjadi tervaluasi dan permintaan tersebut membawa dampak pengganda dalam perekonomian.

Besarnya pengaruh konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak lepas dari ekonomi konsumen yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi yang relatif cukup tinggi dan konsisten, inflasi yang terkendali, dan faktor lain yang mendukung mampu menjaga ekonomi konsumen terus membaik. Membaiknya ekonomi konsumen dari waktu ke waktu ditunjukan oleh data indeks tendensi konsumen (ITK) yang selalu lebih dari 100 (Gambar 2). Selain itu, konsumen Indonesia juga cenderung lebih yakin dibandingkan pelaku usaha. Dalam empat tahun terakhir, ITK selalu lebih tinggi dibandingkan indeks tendensi bisnis (ITB).

Pada tingkat global, keyakinan konsumen Indonesia juga termasuk yang tertinggi. Hasil penelitian Nielsen menunjukan bahwa pada Q1 2015 keyakinan konsumen Indonesia tetap meningkat meskipun keyakinan konsumen global turun. Bahkan peningkatan keyakinan konsumen Indonesia menempati urutan ke-2 tertinggi di antara 60 negara yang disurvei, satu tingkat di bawah India. Karena itu tidak mengherankan bila kita sering mendengar berita tentang banyaknya konsumen Indonesia yang sudah inden produk smart phone, mobil, dan produk mewah lain meski dengan harga yang mahal. Selain itu, kita juga sering mendengar berita tentang antrian jamaah haji yang semakin panjang dan jumlah orang yang pergi ke luar negeri yang selalu meningkat dari waktu ke waktu, meskipun di saat yang sama nilai tukar Rupiah sendang tertekan.

Bahas