Justru, Indonesia adalah sebuah negara sekuler demokratik tetapi dengan pengaruh Islam yang kuat. Sejak awal berdirinya negara ini, sudah ada banyak perdebatan politik mengenai dasar ideologi negara Indonesia. Sejumlah kelompok Islam konservatif (termasuk sejumlah partai politik) berpendapat bahwa Indonesia seharusnya menjadi sebuah negara Islam. Namun, karena ada puluhan juta penduduk non-Muslim - apalagi banyak penduduk yang menganut Islam di Indonesia bukan orang Muslim yang mempraktekkannya dengan sangat ketat (nominal Muslim) -, berdirinya sebuah negara Islam (sekaligus penerapan hukum syariah) selalu dianggap sebagai pemicu perpecahan dan separatisme.



Bahkan, partai-partai politik yang mendukung pendirian negara Islam di Indonesia belum pernah sempat meraih suara mayoritas penduduk sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia. Bahkan berdasarkan hasil pemilihan-pemilihan setelah Orde Baru Suharto, partai-partai Islam yang konservatif sepertinya justru kehilangan dukungan dibandingkan partai-partai sekuler dan karena itu tampaknya kecil kemungkinan bahwa Indonesia akan menjadi negara Islam di masa mendatang. Namun, memang benar juga bahwa aliran Islam yang konservatif dalam masyarakat Indonesia tampaknya sempat meningkatkan pengaruhnya terhadap politik regional dan politik nasional sejak 2017 (topik ini dibahas lebih lanjut di bawah).

Proses Islamisasi di Indonesia (atau tepatnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia) telah berlangsung selama berabad-abad dan terus berlanjut hingga saat ini. Islam menjadi sebuah kekuatan yang berpengaruh melalui serangkaian gelombang dalam berjalannya sejarah (gelombang-gelombang ini yaitu perdagangan internasional, pendirian berbagai kesultanan Islam yang berpengaruh, dan gerakan-gerakan sosial) yang akan dijelaskan lebih lanjut dengan detail di bawah ini.

Namun, juga benar bahwa penerapan agama Islam di Indonesia pada saat ini memiliki karakter yang beragam karena setiap wilayah memiliki sejarah tersendiri yang dipengaruhi oleh sebab-sebab yang unik dan berbeda-beda. Mulai dari akhir abad ke-19 sampai saat ini, Indonesia - secara keseluruhan - memiliki sejarah umum yang lebih seragam karena para penjajah (dan dilanjutkan oleh para pemimpin nasionalis Indonesia) menetapkan dasar-dasar nasional di wilayahnya. Proses unifikasi ini juga membuat agama Islam di Indonesia - dalam proses yang lambat - semakin kehilangan keanekaragamannya. Namun, hal ini bisa dipandang sebagai perkembangan yang logis dalam proses Islamisasi di Indonesia.

Di dalam beberapa tahun terakhir, media - baik nasional dan internasioanal - melaporkan penyerangan-penyerangan pada kelompok-kelompok agama minoritas di Indonesia (seperti Ahmadiyah dan Kristen). Sejumlah kelompok Muslim radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) menggunakan kekerasan (atau ancaman kekerasan) untuk memeperjuangkan idealisme mereka; termasuk dengan melawan umat Islam lainnya, contohnya dengan menyerang penduduk beragama Islam yang menjual makanan pada siang hari selama bulan puasa (Ramadhan). Sangat menguatirkan bahwa Pemerintah Indonesia dan pengadilan di Indonesia tidak bertindak tegas melawan kelompok-kelompok radikal semacam ini. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah memiliki monopoli yang lemah dalam hal penggunaan kekerasan (weak monopoly on violence). Namun, perlu ditekankan bahwa mayoritas penduduk Muslim di Indonesia sangat mendukung pluralisme dan kerukunan antar umat agama.

Pulau-pulau Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim:

1. Sumatra
2. Jawa
3. Kalimantan (daerah pesisir)
4. Sulawesi
5. Lombok
6. Sumbawa
7. Maluku Utara

Islam in Indonesia, Islands with Muslim majority Population Indonesia Investments

Wilayah barat Indonesia yang padat penduduknya pada umumnya memiliki jumlah penduduk Muslim yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia. Karena perdagangan memiliki peran yang signifikan dalam proses Islamisasi di Indonesia, pulau-pulau yang lebih dekat dengan rute-rute perdagangan utama menerima lebih banyak pengaruh Islam. Wilayah barat Indonesia, yang telah menjadi bagian dari jalur perdagangan global sejak sejarah awal manusia, lebih banyak menerima pengaruh-pengaruh Islam yang disebarkan melalui proses perdagangan, dan karena itu mengalami proses kebangkitan dan kejatuhan kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-13. Hal ini terutama terjadi di wilayah sekitar Selat Malaka (yang terletak di antara Malaysia dan Indonesia) yang dari dulu (sampai sekarang) adalah salah satu jalur perdagangan laut tersibuk di dunia.

Melompat ke masa kini, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup cepat sejak tahun 1970an: jumlah penduduk kelas menengah bertambah dengan cepat dan hal ini ditunjukkan dengan peningkatan berkelanjutan produk domestik bruto per kapita (berarti penduduk semakin banyak mengonsumsi produk dan jasa). Apalagi masyarakat Indonesia - seperti juga trennya di seluruh dunia - semakin mengalami proses urbanisasi (sebuah proses yang berhubungan erat dengan modernisasi dan industrialisasi).

Mengingat penduduk Muslim setara dengan hampir 90% dari jumlah total penduduk Indonesia, mereka dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan ini (yaitu peningkatan konsumsi dan urbanisasi). Di kota-kota besar (terutama di pulau Jawa yang merupakan pulau paling padat penduduk di Indonesia) kelompok masyarakat ini menunjukkan gaya hidup yang semakin konsumtif. Hal ini terutama berlaku untuk komponen kelompok Muslim moderat yang berjumlah sangat besar. Mereka semakin menerapkan gaya hidup perkotaan yang modern, yang didukung dengan alat-alat elektronik dan gaya busana terbaru. Walaupun peminat fashion Islam sedang meningkat cukup cepat di Indonesia, permintaan untuk perbankan syariah dan pelancongan halal masih tetap rendah (bahkan pelancongan halal justru dikembangkan sebagai strategi untuk menarik wisatawan Muslim asing untuk menghabiskan liburan di Indonesia).

Kedatangan Islam di Indonesia

Walaupun sulit untuk mengetahui secara persis perkembangan awal agama Islam di kepulauan ini (karena kurangnya sumber informasi), cukup jelas bahwa perdagangan intenasional merupakan faktor yang sangat penting. Kemungkinan besar para pedagang Muslim dari berbagai negara telah ada di wilayah maritim Asia Tenggara sejak periode awal Islam. Sumber-sumber paling awal melaporkan bahwa sejumlah penduduk asli telah memeluk agama Islam sejak awal abad ke-13.

Sementara itu, batu-batu nisan mengindikasikan keberadaan sebuah kerajaan Muslim di Sumatra Utara pada tahun 1211. Mungkin kerajaan-kerajaan lokal mengadopsi agama baru ini karena bisa memberikan keuntungan-keuntungan tertentu dalam perdagangan dengan para pedagang asing yang sebagian besar beragama Islam. Tidaklah jelas mengapa para penduduk asli Nusantara tampaknya baru memeluk agama Islam berabad-abad setelah agama ini sudah tiba dan dikenal di wilayah tersebut. Baru dari abad ke-15 dan selanjutnya, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam menjadi kekuatan politik dominan di kepulauan ini, meskipun mereka akan kemudian dikalahkan oleh para pendatang baru dari Eropa (Portugis dan Belanda) di abad ke-16 dan abad ke-17.

Variasi Agama Islam di Indonesia

Tibanya Islam di kepulauan ini memiliki dampak-dampak yang beragam bagi komunitas-komunitas lokal tergantung konteks historis dan sosial dari wilayah tempat kedatangannya. Di beberapa bagian dari Nusantara, kota-kota bermunculan akibat para pedagang Muslim mendirikan tempat permukiman di sana. Namun di wilayah-wilayah lain, Islam tidak pernah menjadi agama mayoritas, kemungkinan karena letaknya jauh dari rute-rute perdagangan yang penting (seperti wilayah Indonesia timur yang terletaknya jauh dari jalur dagang utama, bahkan terletaknya di semacam 'kekosongan ekonomi'). Sementara itu, di wilayah-wilayah yang memiliki pengaruh kuat dari kebudayaan animisme atau Hindu-Buddha, penyebaran agama Islam diblokir oleh kebudayaan-kebudayaan yang telah ada (seperti di wilayah Bali yang didominasi kebudayaan Hindu sampai saat ini) atau agama Islam jadi bercampur dengan sistem-sistem kepercayaan (animisme) yang sudah ada (contoh-contohnya masih bisa ditemukan di Jawa Tengah).

Sejak terbitnya buku (terkemuka) Clifford Geertz berjudul 'The Religion of Java' (diterbitkan pada tahun 1960), para ilmuwan cenderung membagi komunitas Islam Jawa (kelompok Muslim terbesar di Indonesia) di dalam dua kelompok:

Abangan; mereka adalah umat Muslim tradisionil yang berarti mereka masih menerapkan dogma-dogma agama tradisional Jawa; yang mencampurkan ajaran Islam dengan agama Hindu, Buddha, dan animism. Anggota dari kelompok ini umumnya bertempat tinggal atau berasal dari wilayah pedesaan.

Santri; kelompok ini bisa disebut sebagai umat Muslim ortodoks. Mereka umumnya bertempat tinggal atau berasal dari wilayah perkotaan dan lebih berorientasi pada mesjid dan Al-Quran.

Geertz sebenarnya juga menyatakan ada kelompok ketiga, yaitu priyayi (kelompok bangsawan tradisional), namun karena ini merupakan kelompok kelas sosial dan bukan kelompok agama, maka kelompok priyayi ini tidak kami masukkan dalam pembagian masyarakat di atas.

Penyebaran Islam di Indonesia seharusnya tidak dipandang sebagai proses yang cepat dan yang berasal dari satu asal atau sumber saja. Sebaliknya, lebih tepat kalau dipandang sebagai proses yang didorong beberapa gelombang Islamisasi yang sangat berkaitan dengan perkembangan internasional dalam dunia Islam; sebuah proses yang terus berlanjut sampai dengan hari ini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, para pedagang Muslim yang datang ke wilayah kepulauan ini pada abad-abad pertama era Islam bisa dianggap sebagai gelombang pertama. Gelombang kedua juga sudah kami sentuh di atas, yaitu pendirian kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (dan setelah raja masuk agama Islam, rakyatnya biasanya mengikutinya). Topik ini dibahas jauh lebih terperinci di bagian sejarah prakolonial Indonesia.

Dua gelombang reformasi penting lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan kemurnian Islam - seperti yang diterapkan pada masa Nabi Muhammad - adalah gerakan Wahabi dan gerakan Salafi. Kedua gerakan ini datang dari jauh: gerakan Wahabi datang dari Arab dan mulai memberikan pengaruh di wilayah kepulauan ini sejak awal abad ke-19, sementara gerakan Salafi datang dari Mesir pada akhir abad ke-19. Kedua gerakan ini memiliki dampak yang sangat kuat dalam proses penyebaran agama Islam ortodoks di Nusantara.

Perkembangan penting lainnya di proses Islamisasi di Indonesia adalah pembukaan Kanal Suez pada tahun 1869 yang mengimplikasikan - karena perjalanan ke Mekah menjadi lebih mudah - adanya lebih banyak peziarah antara Indonesia dan Mekkah. Hal ini menyebabkan semakin intensifnya komunikasi Indonesia dengan pusat-pusat agama di Timur Tengah.

Kendati begitu, gelombang-gelombang Islamisasi juga menyebabkan ketegangan dan perpecahan di dalam komunitas Islam Indonesia karena tidak semua orang setuju dengan kedatangan gerakan Islam ortodoks. Contohnya, perbedaan antara komunitas modernis (santri) dan komunitas tradisionalis (abangan) disebabkan karena reaksi komunitas tradisionalis melawan gerakan reformasi di abad ke-19. Perbedaan ini masih tampak dalam dua organisasi Islam yang paling berpengaruh di Indonesia pada saat ini. Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial yang didirikan pada tahun 1912 di Jawa, mewakili komunitas Islam modernis yang menolak Islam Jawa yang mistis (tradisional). Pada saat ini, kelompok ini memiliki sekitar 50 juta anggota. Sebagai reaksi atas pendirian Muhammadiyah, para pemimpin tradisional Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Para anggota NU masih dipengaruhi oleh elemen-elemen mistis sebelum kedatangan agama Islam. Para pemimpin NU juga cenderung lebih toleran pada agama-agama lain. Jumlah anggotanya saat ini mencapai 90 juta orang.

Meningkatnya Pengaruh Islam Konservatif terhadap Politik Indonesia?

Ada kekhawatiran tentang meningkatnya pengaruh kelompok-kelompok Islam garis keras terhadap politik daerah dan politik nasional Indonesia. Kekhawatirannya adalah bahwa perkembangan ini tidak baik untuk pluralisme agama di Indonesia dan juga tidak baik untuk kelompok-kelompok minoritas, seperti komunitas LGBT.

Pada tahun 2014 seorang Kristen (dan etnis Tionghoa), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur Jakarta. Sebelumnya Ahok jadi Wakil Gubernur (2012-2014) tetapi, secara hukum, menggantikan Widodo ketika Widodo menjadi Presiden Indonesia yang ketujuh pada tahun 2014. Walaupun kelompok garis keras tidak setuju seorang non-Muslim memimpin kota yang mayoritasnya Muslim, tidak ada masalah yang signifikan hingga akhir 2016.

Pada akhir 2016, dalam konteks pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, Ahok membuat penghujatan ketika dia mengatakan beberapa warga Jakarta tidak akan memilih Ahok karena mereka "terancam dan tertipu" oleh mereka yang menggunakan ayat Al-Ma'ida 51 dari Al-Qur'an (yang melarang populasi Muslim dipimpin oleh pemimpin non-Muslim). Setelah sebuah video (yang memanipulasi pernyataan Ahok) menjadi viral di media (sosial), kritik muncul, terutama dari kelompok Muslim garis keras.



Serangkaian demonstrasi besar, yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok garis keras, terjadi di Jakarta yang memberikan tekanan besar pada masyarakat. Ketegangan agama membuat banyak orang Muslim memutuskan untuk memperkuat identitas Muslim mereka. Misalnya, wanita yang sebelumnya tidak pernah mengenakan jilbab tiba-tiba mulai mengenakan jilbab, sementara pria yang jarang menggunakan frase Arab di media sosial tiba-tiba mulai sering menggunakan frase-frase Arab, atau, memasang gambar profil baru di media sosial yang menggambarkan mereka dalam pakaian Muslim. Maka, ketegangan agama yang tinggi ini menyebabkan gelombang Islamisasi yang berikut di Indonesia.

Ahok di kemudian hari diadili dalam perkara penistaan agama, dan dihukumi dua tahun penjara (sebuah vonis yang kontroversial; kemungkinannya para hakim juga diintimidasi oleh ketegangan agama saat itu). Sementara itu, Ahok juga dikalahkan dalam pemilu gubernur Jakarta 2017 oleh Anies Baswedan. Untuk kelompok-kelompok garis keras ini adalah kemenangan besar (melihat Ahok masuk penjara dan dikalahkan di pemilu). Mungkin untuk pertama kalinya mereka merasa memiliki pengaruh terhadap politik Indonesia.

Kekacauan dan ketegangan agama yang terkait dengan pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017 kemungkinan jadi meluas ke pemilihan presiden dan legislatif 2019 di Indonesia. Lagi pula, Presiden Widodo dianggap sebagai sekutu Ahok. Oleh karena itu, kelompok-kelompok garis keras juga mulai 'mengejar' Widodo. Selain itu, kandidat presiden yang kontroversial, Prabowo Subianto, justru menjangkau para garis keras karena kerja sama pasti meningkatkan peluangnya dalam pemilihan presiden. Namun, Widodo berhasil menangkis 'serangan' dari kelompok garis keras dengan memilih ulama Muslim konservatif yang terkenal, Ma'ruf Amin, sebagai kandidat wakil presiden dalam pemilihan presiden 2019.

Ma'ruf Amin, yang dihormati oleh kebanyakan kalangan Islam termasuk kelompok-kelompok garis keras, bersaksi melawan Ahok dalam kasus penistaan agama, dan ia juga di belakang banyak fatwa (dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, MUI) yang melawan hak-hak agama atau aliran minoritas, termasuk Ahmadiyah dan komunitas Syiah, serta komunitas LGBT. Sementara fatwa-fatwa itu tidak mengikat secara hukum, toh fatwa-fatwa tersebut jadi digunakan untuk melegitimasi retorika yang semakin galak oleh pejabat pemerintah Indonesia terhadap orang-orang LGBT, bahkan fatwa itu digunakan untuk melegitimasi pemicuan kekerasan oleh para Islamis terhadap beberapa agama minoritas.

Meskipun ketegangan agama di Indonesia lenyap dengan cepat setelah Amin duduk di sebelah Widodo (dan mereka berhasil memenangkan pemilihan presiden 2019), pemilu presiden 2019 juga dapat dianggap sebagai kemenangan bagi Islam konservatif karena sekarang ada seorang ulama Muslim yang konservatif di posisi politik nasional yang tinggi (maka punya pengaruh politik). Siapa tahu ini menjadi preseden untuk pemilihan umum di masa depan: wapres harus berasal dari kalangan ulama. Dan, yang cukup menarik, ini semua tidak terjadi jika masa jabatan Ahok sebagai Gubernur Jakarta berakhir dengan hancur. Jadi, walau pada awalnya - pada tahun 2014 - banyak orang (termasuk pembela hak asasi manusia) memuji fakta bahwa seorang Kristen dapat menjadi gubernur Jakarta, pada akhirnya itu justru memicu gelombang baru dalam proses Islamisasi di Indonesia, dan juga memperkuat pengaruh kelompok-kelompok Muslim garis keras terhadap politik nasional indonesia.

Islam Radikal di Indonesia

Sejak tahun 1990-an, pengaruh Islam semakin tampak jelas di jalan-jalan di Indonesia dan mulai memainkan peran yang lebih penting dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Contohnya, jumlah wanita Indonesia yang menggunakan jilbab atau kerudung telah meningkat secara signifikan, dan beribadah di mesjid semakin menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Namun, penting untuk memahami bahwa perkembangan Islamisasi ini samasekali tidaklah sama dengan radikalisme (atau Islamisme). Sebagian besar umat Muslim di Indonesia memiliki toleransi tinggi pada agama-agama lain beserta aliran-aliran lain di dalam Islam. Hanya sekelompok kecil masyarakat di Indonesia yang setuju dan/atau berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas radikal. Apalagi, hanya sekelompok sangat kecil yang terlibat - atau setuju dengan - aksi teror (meskipun ada kekhawatiran bahwa kelompok ini sedang tumbuh belakangan ini).

Meskipun radikalisme Islam di Indonesia mendapatkan lebih banyak sorotan di media sejak penyerangan 11 September 2001 di New York (terutama setelah beberapa pemboman di Bali dan Jakarta pada tahun 2000an), ini bukanlah fenomena baru di Indonesia. Insiden-insiden yang melibatkan radikalisme Islam telah terjadi jauh sebelumnya, seperti pemberontakan-pemberontakan Darul Islam pada tahun 1950an, pemberontakan-pemberontakan daerah pada akhir 1950an, pembantaian komunis pada tahun 1965-1966, pembajakan pesawat pada tahun 1981, berbagai serangan pada gereja Kristen dan monumen Buddha, dan serangan-serangan pada tempat-tempat yang dianggap haram (rumah bordil, bar, dan tempat perjudian) pada beberapa dekade terakhir.

Untuk informasi yang lebih detail mengenai hal ini silahkan kunjungi halaman kami mengenai Islam Radikal.