Efek samping yang negatif dari produksi minyak sawit - selain dampaknya kepada kesehatan manusia karena mengandung kadar lemak jenuh yang tinggi - adalah fakta bahwa bisnis minyak sawit menjadi sebab kunci dari penggundulan hutan di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Indonesia adalah produsen dan eksportir terbesar minyak sawit di dunia. Namun Indonesian juga merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS).

Produksi minyak sawit dunia didominasi oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua negara ini secara total menghasilkan sekitar 85-90% dari total produksi minyak sawit dunia. Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak sawit yang terbesar.

Dalam jangka panjang, permintaan dunia akan minyak sawit menunjukkan kecenderungan meningkat sejalan dengan jumlah populasi dunia yang bertumbuh dan karenanya meningkatkan konsumsi produk-produk dengan bahan baku minyak sawit seperti produk makanan dan kosmetik. Sementara itu, pemerintah di berbagai negara sedang mendukung pemakaian biofuel.

Ekspektasi Produksi Minyak Kelapa Sawit 2016:

Negara  Produksi
(ton metrik)
Indonesia 36,000,000
Malaysia 21,000,000
Thailand  2,200,000
Kolombia  1,320,000
Nigeria    970,000
Dunia 58,800,000

Sumber: Index Mundi

Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit di Indonesia

Hanya beberapa industri di Indonesia yang menunjukkan perkembangan secepat industri minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ini tampak dalam jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan luas area perkebunan sawit. Didorong oleh permintaan global yang terus meningkat dan keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia (dengan imbas negatif pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi hasil-hasil pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit).

Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor. Negara-negara tujuan ekspor yang paling penting adalah RRT, India, Pakistan, Malaysia, dan Belanda. Walaupun angkanya sangat tidak signifikan, Indonesia juga mengimpor minyak sawit, terutama dari India.

Memang mayoritas dari minyak sawit yang diproduksi di Indonesia diekspor (lihat tabel di bawah). Namun, karena populasi Indonesia terus bertumbuh (disertai kelas menengah yang berkembang pesat) dan dukungan pemerintah untuk program biodiesel, permintaan minyak sawit domestik di Indonesia juga terus berkembang. Meningkatnya permintaan minyak sawit dalam negeri sebenarnya bisa berarti bahwa pengiriman minyak sawit mentah dari Indonesia akan mandek di tahun-tahun mendatang jika pemerintah Indonesia tetap berkomitmen terhadap moratorium konversi lahan gambut (baca lebih lanjut di bawah).

Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia:

  2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Produksi
(juta ton)
 19.2  19.4  21.8  23.5  26.5  30.0  31.5  32.5  32.0
Export
(juta ton)
 15.1  17.1  17.1  17.6  18.2  22.4  21.7  26.4  27.0
Export
(dollar AS)
 15.6  10.0  16.4  20.2  21.6  20.6  21.1  18.6  18.6
Luas Areal
(juta ha)
 n.a.  n.a.  n.a.  n.a.   9.6  10.5  10.7  11.4  11.8

Sumber: Indonesian Palm Oil Producers Association (Gapki) & Indonesian Ministry of Agriculture

Tabel di atas menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit naik drastis selama satu dekade terakhir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan Indonesia bisa memproduksi paling tidak 40 juta ton kelapa sawit per tahun mulai dari tahun 2020.

Industri perkebunan dan pengolahan sawit adalah industri kunci bagi perekonomian Indonesia: ekspor minyak kelapa sawit adalah penghasil devisa yang penting dan industri ini memberikan kesempatan kerja bagi jutaan orang Indonesia. Dalam hal pertanian, minyak sawit merupakan industri terpenting di Indonesia yang menyumbang di antara 1,5 - 2,5 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB).

Hampir 70% perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatra, tempat industri ini dimulai sejak masa kolonial Belanda. Sebagian besar dari sisanya - sekitar 30% - berada di pulau Kalimantan.

1. Sumatra
2. Kalimantan

Dalam hal geografi, Riau adalah produsen minyak sawit terbesar di Indonesia, disusul oleh Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah total luas area perkebunan sawit di Indonesia pada saat ini mencapai sekitar 11.9 juta hektar; hampir tiga kali lipat dari luas area di tahun 2000 waktu sekitar 4 juta hektar lahan di Indonesia dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Jumlah ini diduga akan bertambah menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran yang sangat sederhana di sektor kelapa sawit Indonesia karena mereka memiliki perkebunan yang relatif sedikit, sementara perusahaan-perusahaan swasta besar (misalnya, Wilmar Group dan Sinar Mas Group) dominan karena menghasilkan sedikit lebih dari setengah dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Para petani skala kecil memproduksi sekitar 40 persen dari total produksi Indonesia. Namun kebanyakan petani kecil ini sangat rentan keadaannya apabila terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit dunia karena mereka tidak dapat menikmati cadangan uang tunai (atau pinjaman bank) seperti yang dinikmati perusahaan besar.

Siapa yang Memiliki Perkebunan Minyak Sawit di Indonesia?

Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia (contohnya Unilever Indonesia) telah atau sedang melakukan investasi-investasi untuk meningkatkan kapasitas penyulingan minyak sawit. Hal ini sesuai dengan ambisi Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan lebih banyak penghasilan dari sumber daya alam dalam negeri. Indonesia selama ini berfokus (dan tergantung) pada ekspor minyak sawit mentah (dan bahan baku mentah lainnya) namun selama beberapa tahun terakhir ini mau mendorong proses pengolahan produk sumber daya alam supaya memiliki harga jual yang lebih tinggi (dan yang berfungsi sebagai penyangga saat meluncurnya harga minyak sawit. Kapasitas penyulingan di Indonesia melompat menjadi 45 juta ton per tahun pada awal 2015, naik dari 30,7 juta ton pada tahun 2013, dan lebih dari dua kali lipat kapasitas di tahun 2012 yaitu 21,3 juta ton.

Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit Indonesia

Untuk meningkatkan perkembangan di industri hilir sektor kelapa sawit, pajak ekspor untuk produk minyak sawit yang telah disuling telah dipotong dalam beberapa tahun belakangan ini. Sementara itu, pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) berada di antara 0%-22,5% tergantung pada harga minyak sawit internasional. Indonesia memiliki 'mekanisme otomatis' sehingga ketika harga CPO acuan Pemerintah (berdasarkan harga CPO lokal dan internasional) jatuh di bawah 750 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton, pajak ekspor dipotong menjadi 0%. Ini terjadi di antara Oktober 2014 dan Mei 2016 waktu harga acuan ini jatuh di bawah 750 dollar AS per metrik ton.

Masalahnya, bebas pajak ekspor berarti Pemerintah kehilangan sebagian besar pendapatan pajak ekspor (yang sangat dibutuhkan) dari industri minyak sawit. Maka Pemerintah memutuskan untuk mengintroduksi pungutan ekspor minyak sawit di pertengahan 2015. Pungutan sebesar 50 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik ton diterapkan untuk ekspor minyak sawit mentah dan pungutan senilai 30 dollar AS per metrik ton ditetapkan untuk ekspor produk-produk minyak sawit olahan. Pendapatan dari pungutan baru ini digunakan (sebagian) untuk mendanai program subsidi biodiesel Pemerintah.

-------------------------

Apa lima faktor yang mempengaruhi harga minyak kelapa sawit?

(1) permintaan & persediaan
(2) harga minyak nabati lain (terutama kedelai)
(3) cuaca
(4) kebijakan impor negara-negara yang mengimpor minyak kelapa sawit
(5) perubahan dalam kebijakan pajak dan pungutan ekspor/impor

-------------------------

Pada Februari 2015, Pemerintah mengumumkan kenaikan subsidi biofuel dari Rp 1.500 per liter menjadi Rp 4.000 per liter, sebuah upaya untuk melindungi para produsen biofuel domestik. Melalui program biodiesel ini, Pemerintah mengkompensasi para produsen karena perbedaan harga antara diesel biasa dan biodiesel yang terjadi akibat rendahnya harga minyak mentah dunia (sejak pertengahan 2014). Selain untuk mendanai subsidi ini, hasil dari pungutan ekspor juga disalurkan untuk penanaman kembali, penelitian, dan pengembangan sumberdaya manusia di industri minyak sawit Indonesia.

Isu-Isu Lingkungan Hidup Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah sering dikritik kelompok-kelompok pencinta lingkungan hidup karena terlalu banyak memberikan ruang untuk perkebunan kelapa sawit (yang berdampak pada penggundulan hutan dan penghancuran lahan bakau). Maka - dan sejalan dengan semakin banyaknya perusahaan internasional yang mencari minyak sawit ramah lingkungan sesuai dengan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil - perkebunan-perkebunan di Indonesia dan Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan-kebijakan ramah lingkungan. Para pemerintah negara-negara Barat (misalnya Uni Eropa) telah membuat aturan-aturan hukum yang lebih ketat mengenai produk-produk impor yang mengandung minyak sawit, dan karena itu mendorong produksi minyak sawit yang ramah lingkungan.

Pada tahun 2011, Indonesia medirikan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing global dari minyak sawit Indonesia dan mengaturnya dalam aturan-aturan ramah lingkungan yang lebih ketat. Semua produsen minyak sawit di Indonesia didorong untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Namun, ISPO ini tidak diakui secara internasional.

Moratorium Mengenai Konsesi Baru Hutan Perawan

Pemerintah Indonesia menandatangani moratorium berjangka waktu dua tahun mengenai hutan primer yang mulai berlaku 20 Mei 2011 dan selesai masa berlakunya pada Mei 2013. Setelah habis masa berlakunya, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memperpanjang moratorium ke dua tahun selanjutnya. Moratorium ini mengimplikasikan pemberhentian sementara dari pemberian izin-izin baru untuk menggunakan area hutan hujan tropis dan lahan bakau di Indonesia. Sebagai gantinya Indonesia menerima paket 1 milyar dollar AS dari Norwegia. Pada beberapa kesempatan, media internasional melaporkan bahwa moratorium ini telah dilanggar oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Kendati begitu, moratorium ini berhasil membatasi - untuk sementara - ekspansi perkebunan-perkebunan sawit. Pihak-pihak yang skeptis terhadap moratorium tersebut menunjukkan bahwa sebelum penerapannya Pemerintah Indonesia telah memberikan konsesi tanah seluas 9 juta hektar untuk lahan baru. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar minyak sawit masih memiliki lahan luas yang baru setengahnya ditanami, berarti masih banyak ruang untuk ekspansi. Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo kembali memperpanjang moratorium ini untuk periode 2 tahun.

Prospek Masa Depan Industri Minyak Sawit di Indonesia

Era Boom Komoditi 2000-an membawa berkat bagi Indonesia karena berlimpahnya sumberdaya alam negara ini. Harga minyak sawit naik tajam setelah tahun 2005 namun krisis global menyebabkan penurunan tajam harga CPO di tahun 2008. Terjadi rebound yang kuat namun setelah tahun 2011 harga CPO telah melemah, terutama karena permintaan dari RRT telah menurun, sementara rendahnya harga minyak mentah (sejak pertengahan 2014) mengurangi permintaan biofuel berbahan baku minyak sawit. Karena itu, prospek industri minyak sawit suram dalam jangka waktu pendek, terutama karena Indonesia masih terlalu bergantung pada CPO dibandingkan produk-produk minyak sawit olahan.

Pada saat permintaan global kuat, bisnis minyak sawit di Indonesia menguntungkan karena alasan-alasan berikut:

Margin laba yang besar, sementara komoditi ini mudah diproduksi
Permintaan internasional yang besar dan terus berkembang seiring kenaikan jumlah penduduk global
Biaya produksi minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia adalah yang paling murah di dunia
Tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan produk minyak nabati
Penggunaan biofuel diduga akan meningkat secara signifikan, sementara penggunaan besin diperkirakan akan berkurang

Masalah-masalah apa yang menghalangi perkembangan industri minyak sawit dunia?

Kesadaran bahwa penting untuk membuat lebih banyak kebijakan ramah lingkungan
Konflik masalah tanah dengan penduduk lokal karena ketidakjelasan kepemilikan tanah
Ketidakjelasan hukum dan perundang-undangan
Biaya logistik yang tinggi karena kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur

Update terakhir: 26 Juni 2017