Dalam konteks baru ini, produsen minuman beralkohol lokal perlu mengubah strategi mereka untuk meningkatkan penjualan atau, setidaknya, mengurangi penurunan. Diageo Plc, sebuah perusahaan multinasional minuman beralkohol Inggris, yang berbasis di London, memperkenalkan Guinness bebas alkohol untuk Indonesia (dan perusahaan ini berencana untuk membangun pabrik di pulau Bali). Meskipun perusahaan ini menyatakan sudah berencana untuk memperkenalkan Guinness Zero-nya untuk pasar Indonesia sebelum larangan minimarket tersebut diumumkan, minuman baru adalah strategi utama untuk meningkatkan penjualan perusahaan di Indonesia setelah penerapan larangan.

Diageo mengklaim menguasai sekitar 15% pasar bir di Indonesia. Hingga awal 2015 Indonesia merupakan pasar bir terbesar kelima perusahaan tersebut, dengan penjualan sekitar 400.000 hektoliter (Guinness) per tahun. Namun, setelah penerapan penuh larangan pada bulan April 2015, penjualan perusahaan tersebut di Indonesia secara mengejutkan turun sebesar 40% (y/y). Dengan menawarkan Guinness Zero untuk pasar Indonesia Diageo berharap produknya akan segera kembali tersedia di minimarket dan kios.

Karena butuh beberapa bulan sebelum pabrik baru di Bali siap beroperasi, Diageo saat ini mengimpor Guinness Zero dari Irlandia (ke Indonesia). Namun, selain biaya transportasi, perusahaan juga harus membayar bea masuk 10% dan oleh karena itu pabrik baru di Bali adalah alternatif yang lebih menarik (meskipun biaya produksi yang tinggi dari alternatif nol-alkohol menjadi perhatian).

Guinness Zero bukanlah bir bebas alkohol pertama (kadang-kadang dikenal sebagai bir non-alkohol) di Indonesia. Multi Bintang Indonesia - pemimpin pasar di sektor minuman beralkohol di Indonesia - sudah memperkenalkan Bintang Zero sekitar satu dekade lalu.

Larangan Penjualan Minuman Beralkohol di Minimarket

Melalui Peraturan Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengadaan, Distribusi, dan Penjualan Minuman Beralkohol, Pemerintah Indonesia melarang penjualan minuman yang memiliki kandungan alkohol berkisar antara 1% sampai 5% (disebut "minuman beralkohol tipe A") di minimarket dan kios di negara ini. Sebelumnya, penjualan minuman dengan kandungan alkohol lebih tinggi dari 5% sudah dilarang di minimarket dan kios. Sejak April 2015 minuman beralkohol hanya dapat dibeli di supermarket dan hipermarket (yang berlisensi). Namun, peraturan tersebut juga memberikan pengecualian untuk penjualan minuman beralkohol untuk keperluan adat, pariwisata, ritual keagamaan, industri farmasi, dan di tempat-tempat resmi oleh hukum. Ini berarti bahwa masih memungkinkan untuk menikmati minuman beralkohol. Namun, karena jumlah supermarket besar terbatas (dibandingkan dengan jumlah minimarket yang telah menjamur di jalan-jalan perkotaan), sekarang jauh lebih sulit untuk membeli minuman beralkohol atau - jika dikonsumsi di restoran, hotel atau kafe - menjadi jauh lebih mahal.

Pemerintah menerapkan larangan untuk "melindungi moral dan budaya masyarakat Indonesia" karena telah menjadi sangat mudah bagi murid sekolah atau mahasiswa untuk membeli minuman beralkohol ringan (seperti bir dan breezers) karena tingginya jumlah minimarket dan kios di Indonesia. Selain itu, terdapat pandangan negatif terhadap alkohol di Indonesia yang memiliki peduduk mayoritas Muslim karena konsumsi minuman keras (termasuk alkohol) umumnya dilarang (haram) untuk kaum Muslim. Namun, karena Indonesia memiliki jutaan Muslim KTP (yang tidak mengikuti prinsip-prinsip Islam secara ketat), konsumsi bir telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di daerah perkotaan karena hal ini telah menjadi bagian dari gaya hidup perkotaan.

Bahas