Sekitar dua tahun yang lalu pasar properti Indonesia mulai mendingin setelah bank sentral (Bank Indonesia) menaikkan persyaratan jumlah uang muka minimum untuk pembelian properti dan mengurangi hipotek untuk kepemilikan rumah kedua. Terlebih lagi, Bank Indonesia menaikkan tingkat suku bunganya secara bertahap dari 5,75% di bulan Juni 2013 menjadi 7,50% di bulan November 2013 dalam rangka melawan inflasi tinggi, mengurangi defisit transaksi berjalan dan mendukung rupiah (yang mulai melemah secara tajam karena pengetatan moneter di Amerika Serikat). Selain inflasi tinggi (disebabkan oleh beberapa penyesuaian harga bahan bakar bersubsidi), melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini juga membatasi daya beli masyarakat.

Akibatnya, pasar properti Indonesia kehilangan momentum karena orang-orang Indonesia mulai menunda membeli rumah, sementara para developer menunda atau membatalkan pembangunan proyek-proyek baru. Dalam rangka mendongkrak sektor properti, pihak berwenang di Indonesia mengimplementasikan tindakan-tindakan deregulasi dengan meringankan peraturan dan menghapus ketidakjelasan-ketidakjelasan. Bank Indonesia meringankan persyaratan pembayaran uang muka untuk pembelian properti menjadi rata-rata 10% di bulan Juni 2015, diikuti oleh proposal dari Menteri Keuangan untuk mengubah batasan penetapan pajak barang mewah 20% untuk properti bernilai Rp 10 miliar, dari sebelumnya Rp 2 miliar. Terakhir, Menteri Keuangan juga mengajukan proposal untuk mengizinkan para ekspatriat untuk memiliki properti (bernilai paling sedikit Rp 10 miliar) di Indonesia.

Kendati begitu, Fitch Ratings menekankan bahwa - meskipun merupakan hal yang positif bagi daya tarik sektor properti - semua deregulasi ini akan membutuhkan waktu untuk memicu permintaan properti di Indonesia, terutama karena pembuatan peraturan baru cenderung lambat di Indonesia. Bukanlah hal yang tidak penting bahwa Fitch Ratings memprediksi daya beli masyarakat dan kepercayaan komsumen di Indonesia akan tetap lemah dalam jangka waktu dekat karena guncangan perekonomian yang berkelanjutan.

Agensi rating kredit ini menambahlan bahwa para pengembang properti besar di negara ini - seperti Bumi Serpong Damai (BB-/stable), Lippo Karawaci (BB-/stable) dan Pakuwon Jati (BB-/stable) - berada dalam posisi yang lebih baik untuk ‘melewati badai’ karena rekam jejak mereka yang lebih kuat dan aliran pendapatan rutin.

Lanjut Baca:

Analysis Indonesia’s Property Market; Overview & Foreign Ownership

Bahas