Antara bulan Juni 2013 dan November 2014, Bank Indonesia menaikkan suku bunga utama (BI rate) secara bertahap dari 5.75 persen menjadi 7.75 persen dalam upaya untuk mencegah inflasi yang tinggi (yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar subsidi pada bulan Juni 2013 dan November 2014), untuk membatasi defisit neraca transaksi berjalan (yang menyentuh 3.3 persen dari produk domestik bruto tahun 2013) dan untuk membela nilai tukar rupiah (yang telah terdepresiasi sekitar 26 persen dari dolar AS selama tahun 2013). Namun demikian, pengetatan moneter ini menimbulkan efek samping negatif yaitu lambatnya pertumbuhan ekonomi. Tahun lalu, perekonomian Indonesia hanya dapat meningkat 5.02 persen (t/t), tingkat pertumbuhan paling lambat selama lima tahun terakhir. Selain kebijakan cenderung ketat Bank Indonesia, peningkatan ekonomi juga terhambat oleh melemahnya permintaan global untuk komoditas Indonesia dan lambatnya pertumbuhan investasi akibat ketidakpastian politik (dipicu oleh pemilihan anggota legislatif dan presiden).

Dengan harga minyak mentah yang rendah di dunia, inflasi Indonesia berkurang pada awal tahun 2015. Berdasarkan data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, inflasi turun menjadi 6.96 persen (t/t) pada bulan Januari dari 8.36 persen (t/t) pada akhir tahun 2014. Bingham mengatakan bahwa IMF memperkirakan inflasi akan turun lebih lanjut tahun ini dan kemungkinan besar masuk kisaran target bank sentral yaitu 3-5 persen (t/t) pada akhir tahun. Sementara itu, defisit transaksi berjalan nasional diperkirakan membaik sampai sekitar 3 persen dari PDB pada tahun 2014 (Indonesia adalah pengimpor minyak netto). Defisit perdagangan Indonesia berada pada angka $1.88 miliar dolar AS pada tahun 2014, membaik secara signifikan dari defisit perdagangan $4.08 miliar dolar yang tercatat satu tahun sebelumnya. Namun demikian, defisit transaksi berjalan harus diperbaiki lebih lanjut untuk menumbuhkan kepercayaan investor atas fundamental keuangan Indonesia (defisit transaksi berjalan menandakan bahwa suatu negara bergantung pada aliran masuk modal luar negeri).

Namun demikian, mengingat bahwa sebagian bank sentral di dunia telah beralih ke kebijakan stimulus moneter (sebagai contoh bank sentral di India, Australia, Eurozone dan Singapura) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Bingham berharap bank sentral Indonesia mempertahankan lingkungan suku bunga tinggi untuk menarik modal asing. Rapat Dewan Gubernur selanjutnya, yang membahas tingkat kebijakan akan diselenggarakan pada hari Selasa (17/02).

Sementara itu, lembaga pemeringkatan kredit internasional Moody’s Investors Service mempercayai bahwa rendahnya harga minyak secara global - yang dalam keadaan normal akan mendorong pertumbuhan ekonomi - tidak dapat mendorong perekonomian global karena rendahnya harga minyak ini muncul pada waktu yang tidak tepat. Di dalam laporan terakhir, Marie Diron (Wakil Presiden Senior Kebijakan Kredit Moody’s) mengatakan bahwa Moody’s tidak akan mengubah perkiraan untuk pertumbuhan ekonomi di dalam perekonomian G-20 (kelompok yang terdiri dari negara industri dan berkembang terdepan) akibat tingginya tingkat pengangguran dan terjadinya ketidakpastian politik di beberapa negara anggota Eurozone dan kebijakan moneter dan fiskal yang ketat Brazil akan mengurangi dampak positif harga minyak mentah yang rendah. Lebih jauh, Cina dan Jepang susah berupaya untuk meningkatkan kinerja ekonomi negara masing-masing sehingga mengakibatkan permintaan global yang melemah.

Moody’s memperkirakan bahwa ekonomi G-20 akan tumbuh sedikit di bawah 3 persen (t/t) pada tahun 2015 dan 2016 (perkiraan yang tidak berubah dari perkiraan Moody's yang disampaikan tahun lalu). Berkenaan dengan ekonomi Eurozone dan Jepang, Moody’s memperkirakan pertumbuhan akan di bawah 1 persen (t/t) pada tahun 2015. Pada sisi lain, AS dan India diperkirakan menikmati manfaat dari harga minyak yang rendah karena konsumen dan perusahaan di kedua negara tersebut membelanjakan sebagian keuntungan di dalam penghasilan riil. Perekonomian AS dan India diproyeksikan meningkat 3.2 persen (t/t) dan 7 percent (t/t), masing-masing, tahun ini. Namun demikian, Rusia, diperkirakan mengalami resesi tajam sampai 2017 akibat kemerosotan harga minyak dan keterlibatan di dalam isu geopolitik di Ukraina.

Bahas