Kepala BPS Suryamin bahkan menginformasikan bahwa ini pertama kalinya di dalam lima tahun bahwa neraca minyak & gas (migas) dan juga neraca non minyak & gas (non-migas) mengalami surplus. Biasanya, Indonesia membukukan defisit besar di sektor migas karena impor minyak yang mahal untuk memenuhi permintaan bahan bakar domestik. Namun, karena rendahnya harga minyak mentah, neraca ini mengalami perbaikan signifikan.

Impor bulanan Indonesia di bulan Februari turun sebanyak 16,2% di basis year-on-year (y/y) menjadi 11,6 miliar dollar AS. Impor migas menurun tajam sebanyak 50,3% (y/y) menjadi 1,7 miliar dollar AS di bulan Februari karena didukung rendahnya harga minyak dunia. Sementara itu, impor non-migas jatuh 4,9% menjadi 9,8 miliar dollar AS dan merupakan bukti bahwa pelemahan nilai tukar rupiah telah sukses mengurangi impor di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini. Namun, melihat harga-harga semata mungkin akan memberikan gambaran yang tidak tepat karena ada penambahan 14,5% pada pertumbuhan volume impor (dalam dua bulan pertama di 2015), terutama impor non-migas. Hal ini menyiratkan bahwa konsumsi domestik mungkin sudah bertambah.

Lemahnya rupiah belum memberikan dampak signifikan pada performa ekspor Indonesia. Secara teori, rupiah yang lemah seharusnya membuat produk-produk Indonesia lebih menarik untuk pasar internasional. Namun, ekspor Indonesia turun 16% (y/y) menjadi 12,3 miliar dollar AS karena penurunan pengiriman produk-produk migas maupun non-migas, seperti minyak sawit dan batubara. Harga-harga komoditi tetap bergerak lambat terutama karena permintaan dari Republik Rakyat Tionghoa (RRT) telah berkurang di tengah melambatnya kecepatan pertumbuhan ekonomi RRT. Apalagi perlu dipahami bahwa produk-produk ekspor Indonesia mengandung banyak komponen yang diimpor. Hal ini berarti bahwa tidak ada pertumbuhan ekspor tanpa pertumbuhan impor.

Secara kumulatif, surplus perdagangan Indonesia berada pada angka 1,48 miliar dollar AS di dua bulan pertama di 2015.

Sementara itu, kendati ada berita baik mengenai surplus perdagangan sebesar 738,3 juta dollar AS di Februari, nilai tukar rupiah terus menurun pada hari ini karena semakin banyak investor yang berspekulasi bahwa Federal Reserve, yang akan memulai pertemuan dua hari untuk Federal Open Market Committee (FOMC) pada hari Selasa (17/03), akan menaikkan suku bunga dalam waktu singkat. Berdasarkan pada Bloomberg Dollar Index, nilai rupiah telah melemah 0,29% menjadi Rp 13,244 per dollar AS pada pukul 15:25 Waktu Indonesia Barat (WIB) di hari Senin.

Nilai tukar rupiah yang menjadi acuan Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat JISDOR) terdepresiasi 0,35% menjadi Rp 13.237 per dollar AS pada hari Senin (16/03).


Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia


Surplus perdagangan Februari adalah hal yang positif bagi Indonesia yang berjuang melawan defisit transaksi berjalan yang besar. Defisi ini membuat Indonesia rentan terhadap capital outflows pada masa guncangan-guncangan ekonomi dan juga menekan nilai rupiah. Pemerintah Indonesia berencana untuk melaksanakan sejumlah peraturan baru untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor.

Bahas