Di dalam APBN-P Tahun 2015, pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan PDB 5.7 persen (t/t) meningkat dari pertumbuhan angka 5.02 persen yang tercatat pada tahun 2014. Presiden Indonesia Joko Widodo, yang resmi mulai menjabat pada bulan October 2014, optimis bahwa target ambisius ini dapat dicapai walaupun lembaga internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan PDB Indonesia masing-masing pada angka 5.2 persen dan 5.0 persen, pada tahun 2015. Kedua institusi tersebut menilai rendah pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 akibat dampak negatif perekonomian global yang menyebabkan pembiayaan eksternal yang lebih ketat dan dapat menimbulkan suku bunga nasional yang tinggi, sehingga menambah tekanan terhadap bank, perusahaan lokal dan rumah tangga untuk menyelesaikan utang, sekaligus menghambat kemampuan untuk berinvestasi atau belanja. Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada pada kisaran 5.4 - 5.8 persen tahun ini.

Dengan demikian, pertanyaan yang timbul adalah bagaimana Indonesia dapat berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi 5.7 persen pada tahun 2015. Langkah di bawah ini dinilai sangat diperlukan:

Investasi publik di sektor infrastruktur; kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur di Indonesia bukan suatu masalah baru bagi negara ekonomi terbesar Asia Tenggara ini. Dimulai dari era Reformasi (setelah jatuhnya rezim Orde Baru otoriter Presiden Suharto) telah terjadi kurangnya investasi di dalam sektor infrastruktur nasional yang menyebabkan biaya logistik yang sangat tinggi (sehingga menyebabkan Indonesia menjadi kurang berdaya saing) dan menyebabkan investor berpikir dua kali sebelum berinvestasi. Masalah infrastruktur meliputi infrastruktur fisik (seperti jalan, pelabuhan dan listrik) dan infrastruktur non-fisik (pemeliharaan kesehatan, penegakan hukum dan sebagainya). Namun demikian, setelah Joko Widodo menjadi presiden ketujuh Indonesia telah terjadi perkembangan positif. Presiden baru tersebut mengubah skema subsidi bahan bakar (yang dijanjikan selama kampanye pemilihan presiden) sehingga menghemat IDR 230 triliun di dalam APBN tahun 2015. Lebih dari setengah dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur. Namun demikian, diperkirakan bahwa Indonesia memerlukan dana sebesar IDR 5,519.4 trillion dalam investasi selama lima tahun ke depan untuk mendukung perkembangan infrastruktur nasional. Sebagian besar dana yang diperlukan akan berasal dari sektor swasta dan dengan demikian sangat penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk menarik investasi dari investor asing maupun domestik. Proyek infrastruktur yang sukses dipercaya menjadi multiplier effect atas ekonomi Indonesia. Namun demikian, sebagian besar dampak tersebut dapat dirasakan setelah berjalannya waktu.

Memperbaiki iklim investasi; Indonesia telah dipengaruhi oleh birokrasi yang mahal dan panjang, koordinasi pemerintah yang lemah (antara berbagai lembaga pemerintah pada tingkat pusat dan daerah), korupsi dan ketidakpastian hukum. Walaupun investasi langsung asing (foreign direct investment) mencapai rekor tertinggi di tahun 2014 terdapat banyak peluang untuk pertumbuhan yang lebih tinggi karena iklim investasi yang belum terlalu kondusif menghambat investor untuk berinvestasi di Indonesia. Presiden Widodo berusaha untuk mengatasi hambatan birokrasi namun hal ini memerlukan waktu karena terlihat bahwa birokrasi di negara ini telah menjadi kekuatan yang sulit diterobos. Di dalam upaya untuk menyederhanakan sistem perizinan nasional untuk proyek investasi, Indonesia meluncurkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (disingkat PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada akhir bulan Januari 2015. Mulai sekarang para investor tidak perlu mengunjungi beberapa kementerian atau pemerintah untuk memperoleh izin yang diperlukan tapi tinggal berkunjung ke pusat layanan satu atap BKPM tersebut. Namun demikian, karena pusat layanan ini baru dibentuk, kita belum dapat menentukan apakah pusat layanan baru tersebut dapat berjalan dengan lancar atau tidak. Dalam hal korupsi dan kepastian hukum yang lemah di Indonesia, soal ini terutama terlihat di sektor sumberdaya alam (khususnya sektor minyak dan gas).

Menjadi eksportir produk manufactur; dalam hal ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas (mentah). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap dampak volatilitas harga komoditas di pasar internasional. Dalam beberapa tahun terakhir, ketika harga komoditas jatuh, kinerja ekspor Indonesia menurun secara drastis. Lebih buruk, dalam beberapa waktu mendatang tidak terlihat adanya tanda akan menguatnya harga komoditas. Untuk mengatasi posisi rentan ini, Indonesia harus mendiversifikasikan produk ekspor nasional, khususnya industri hilir untuk produk manufaktur bernilai tambah. Meningkatkan sisi suplai domestik adalah hal penting karena penduduk Indonesia (yang dicirikhaskan dengan pertumbuhan pesat masyarakat kelas menengah yang sekarang berjumlah sekitar 75 juta orang) akan memerlukan produk yang lebih banyak. Akibat kurangnya manufaktur dalam negeri, situasi ini menyebabkan inflasi dan kenaikan impor sehingga menimbulkan tekanan pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Mengenai ekspor, penting bagi Indonesia untuk mencari pasar-pasar ekspor yang non-tradisional. China (salah satu pasar ekspor terbesar untuk produk Indonesia) sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi maka permintaan dari ekonomi dunia terbesar kedua ikut melemah. Pada akhirnya, harus dicatat bahwa proyek-proyek infrastruktur besar yang ditargetkan oleh pemerintah akan mendorong impor karena proyek ini memerlukan bahan impor dalam jumlah besar.

Menurunkan patokan suku bunga; penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia (yang dimulai pada tahun 2011) untuk sebagian disebabkan oleh kenaikan suku bunga utama Bank Indonesia (BI rate) secara agresif antara Juni 2013 dan November 2014 (dari 5.75 persen menjadi 7.75 persen secara bertahap) di dalam upaya untuk mengatasi inflasi yang tinggi (yang muncul sebagai akibat kenaikan harga bahan bakar bersubsidi pada bulan Juni 2013 dan November 2014), membatasi defisit transaksi berjalan (sekitar 3 persen dari PDB pada tahun 2014), mendukung nilai tukar rupiah (yang mulai terdepresiasi dari bulan Juni 2013 waktu US Federal Reserve mulai memberikan isyarat akan penurunan program quantitative easing pada akhir Mei 2013), dan mencegah aliran keluar modal akibat munculnya perkiraan kenaikan suku bunga AS akhir tahun ini. Walaupun kebijakan moneter Bank Indonesia dinilai tepat untuk menjaga fundamental fiskal Indonesia, biaya pinjaman yang lebih tinggi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, Bank Indonesia kemungkinan kecil akan menurunkan suku bunga BI di bulan-bulan mendatang. Walaupun inflasi turun menjadi 6.96 persen (t/t) di bulan Januari (dari 8.36 persen t/t pada bulan sebelumnya) dan defisit transaksi berjalan juga membaik, kenaikan suku bunga AS diperkirakan menyebabkan aliran modal yang parah dari ekonomi-ekonomi berkembang, khususnya apabila perekonomian tersebut menunjukkan defisit transaksi berjalan (seperti Indonesia) karena hal ini menunjukkan bahwa negara tersebut bergantung pada pendanaan luar negeri. Dengan demikian, sebagian besar pengamat ekonomi setuju bahwa kemungkinan lebih besar Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga dibandingkan menurunkan suku bunga menjelang kenaikan suku bunga di AS.

Meningkatkan stabilitas politik; perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 untuk sebagian disebabkan oleh 'tahun politik' (Indonesia menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif dan presiden tahun 2014). Karena Indonesia dapat disebutkan sebuah negara yang muda dalam hal demokrasi, pemilihan umum bisa menyebabkan masalah stabilitas politik dalam negeri. Dengan demikian, investor lebih memilih untuk menggunakan strategi wait & see untuk hasil pemilihan sebelum memulai proyek investasi. Karena banyaknya kekuatan yang berlawanan di area politik dalam negeri dan kurangnya tradisi demokrasi, Indonesia cenderung lebih tidak stabil dibandingkan negara lain (saat ini ketegangan politik sedang panas karena Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilibatkan di dalam suatu pertempuran politik). Presiden Widodo harus berjalan garis tipis antara mendorong program reformasi untuk menumbuhkan perkembangan ekonomi dan sosial dan memelihara hubungan yang harmonis dengan kekuatan politik yang lain (khususnya karena dukungannya di parlemen bisa disebutkan rapuh).

Bahas