Pada awalnya, di versi draft, Pemerintah mengajukan supaya ada persyaratan minimal 40% komponen lokal dalam pembuatan smartphone 4G yang dijual secara domestik. Namun, mungkin karena kritik dari Amerika Serikat (AS) dan mitra-mitra dagang lainnya (karena persyaratan baru ini lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan domestik dibandingkan perusahaan-perusahaan asing) dan juga ketidaksiapan dari manufaktur-manufaktur lokal Indonesia untuk memenuhi kenaikan permintaan untuk komponen buatan Indonesia, persyaratan komponen lokal ini kemudian diturunkan menjadi 30% untuk semua alat genggam yang menggunakan teknologi frequency division duplex (FDD) yang dipakai para pelaku lokal untuk membangun jaringan LTE generasi ke-4 (fourth generation/4G). Meskipun begitu, modem-modem wireless yang menggunakan jaringan network LTE 4G, seperti Bolt, diharuskan untuk memakai komponen lokal minimal 40%.

Kewajiban jumlah minimum komponen lokal minimum ini terutama dibuat untuk mendongkrak industri manufaktur domestik dalam usaha mengurangi ketergantungan pada impor produk-produk jenis itu (yang menyebabkan dampak negatif pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan Indonesia). Sebelumnya, Pemerintah telah memperkenalkan upaya lain untuk melindungi industri smartphone domestik. Di pertengahan 2014, Pemerintah menetapkan pajak barang mewah 20% untuk penjualan domestik dari smartphone-smartphone yang diimpor dalam usaha membatasi masuknya smartphone impor dan memacu industri manufaktur smartphone lokal.

Kegagalan untuk memenuhi persyaratan baru mengenai komponen lokal minimal pada Januari 2017 dapat menyebabkan pembekuan izin dan larangan aktivitas penjualan dan distribusi di Indonesia. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi para pelaku utama smartphone global (seperti Samsung, iPhone dari Apple, Xiaomi dan Polytron) untuk berkerjasama dengan para manufaktur peralatan original lokal atau berinvestasi pada cabang perusahaan untuk pembuatan komponen lokal dalam rangka mengakses pasar smartphone Indonesia yang menguntungkan (lihat di bawah). Dengan biaya tenaga kerja yang masih rendah (dibandingkan Republik Rakyat Tiongkok), Indonesia juga dapat menjadi sebuah pusat produksi yang menarik bagi para manufaktur ini. Terlebih lagi, Indonesia menawarkan pasar baru untuk teknologi 4G, sementara pasar 4G di Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Jepang telah jenuh. Oleh karena itu, kesempatan-kesempatan joint venture tampak menjanjikan.

Pengguna Smartphone Indonesia 2013-2018:

Setelah pada awalnya mengkritik, kebanyakan produsen smartphone kemudian memberikan dukungan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang baru ini. Contohnya, Wakil Presiden Samsung Electronics Indonesia Lee Kang Hyun mengumumkan bahwa Samsung akan memenuhi kuota tersebut karena kebanyakan smartphonenya sudah memiliki kandungan lokal 20%. Samsung Electronics Co Ltd, yang bermarkas di Korea Selatan, meresmikan sebuah pabrik di Bekasi (Jawa Barat) di bulan lalu sebagai respon atas peraturan baru ini walau Samsung juga menekankan bahwa biaya-biaya produksi menjadi lebih mahal. Pabrik ini memiliki total kapasitas produksi sekitar 1,5 juta telepon dan tablet per tahun.

Walaupun tenaga kerjanya murah, biaya produksi untuk smartphone yang dimanufaktur di Indonesia dapat menjadi lebih mahal karena impor yang harus dilakukan untuk sejumlah bagian dari smartphone. Contohnya, impor neodymium, dari RRT, dapat menjadi mahal (ditambah lagi dengan infrastruktur Indonesia yang terkenal buruk dan meningkatkan biaya-biaya logistik secara signifikan).

Kritik Terhadap Peraturan Baru Jumlah Minimum Komponen Lokal

Merespon peraturan baru ini, berbagai pengamat menyatakan hal ini tidak mungkin dilakukan kebanyakan perusahaan manufaktur lokal (karena mereka tidak siap untuk memenuhi kenaikan permintaan tiba-tiba atas komponen buatan Indonesia) dan karenanya kebijakan pada akhirnya akan merugikan konsumen Indonesia. Sementara itu Kantor Dagang Amerika di Indonesia (American Chamber of Commerce in Indonesia/AmCham Indonesia) mengekspresikan kekuatirannya bahwa Indonesia tidak melakukan kewajiban pasar bebas bila menerapkan kebijakan ini dan karenanya mungkin melanggar hukum perdagangan internasional yang diatur World Trade Organization (WTO). Lebih lanjut lagi, AmCham mengklaim bahwa persyaratan jumlah minimum komponen lokal yang baru membatasi akses para konsumen Indonesia terhadap teknologi terbaik dan terbaru dan menstimulasi baik pasar abu-abu maupun pasar gelap untuk telepon seluler karena negara ini saat ini masih kekurangan rantai suplai untuk memproduksi telepon seluler berkualitas tinggi.

Menarik untuk mencatat bahwa nilai total smartphone asing yang dijual di pasar Indonesia diperkirakan mencapai kira-kira 5,5 miliar dollar AS di 2014. Meskipun begitu, menurut data dari Menteri Perdagangan nilai smartphone yang diimpor resmi ke Indonesia hanya 3,5 miliar dollar AS, mengindikasikan bahwa ada pasar gelap yang besar untuk smartphone. Serupa dengan itu, sekitar satu dekade lalu, penyelundupan telepon selular ke Indonesia naik secara signifikan setelah Pemerintah mengimplementasikan tarif impor yang tinggi. Ketika tarif ini dihapuskan, penyelundupan segera menurun. Meskipun begitu, ketika di 2013 Pemerintah mengimplementasikan pajak barang mewah 20% pada telepon seluler yang diimpor, penyelundupan kembali meningkat (dilaporkan ada lebih dari 50 juta telepon selular ilegal yang disirkulasi di Indonesia di 2013).

Kekuatiran lainnya adalah kurangnya informasi mengenai bagaimana peraturan komponen lokal 30% dapat diukur.

Overview Pasar Smartphone Indonesia

Penetrasi smartphone di Indonesia masih rendah. Diperkirakan bahwa kurang dari 30% dari penduduk Indonesia saat ini (Juli 2015) memiliki smartphone, mengimplikasikan bahwa negara ini tertinggal (jauh) di belakang RRT yang memiliki tingkat penetrasi smartphone hampir 80%. Meskipun begitu, karena Indonesia telah mengalami pertumbuhan perekonomian yang subur selama satu dekade (kira-kira +5% pada basis year-on-year) dan memiliki populasi yang besar dan muda, penetrasi smartphone seharusnya meningkat tajam di tahun-tahun mendatang karena kelas menengah berekspansi dengan cepat. Saat ini, kelas menengah Indonesia berjumlah sekitar 75 juta orang. Menurut Bank Dunia, setiap tahun beberapa juta orang Indonesia masuk dalam kalangan kelas menengah.

Penelitian yang diadakan firma konsultan Frost & Sullivan menyatakan bahwa penetrasi smartphone di Indonesia akan melewati 50% di 2015 dari 9% di 2012 dan 23% di 2014. Meskipun begitu, karena pertumbuhan perekonomian di Indonesia telah terus melambat proyeksi ini terlalu optimis. Menurut eMarketer, Indonesia akan memiliki populasi pengguna smartphone terbesar ke-4 di dunia pada 2018 dengan lebih dari 100 juta pengguna bulanan aktif.

Satu catatan terakhir, Pemerintah Indonesia bertekad untuk meningkatkan konektivitas broadband di seluruh negeri. Di awal tahun ini, Pemerintah mengumumkan rencana untuk menginvestasikan Rp 278 triliun untuk tujuan ini, untuk memastikan bahwa kenaikan permintaan smartphone 4G didukung oleh infrastruktur telematika yang dibutuhkan.

Bahas