Tantangan eksternal utama yang diperkirakan bertahan di 2016 adalah (1) pengetatan moneter lebih lanjut di Amerika Serikat (AS), (2) perlambatan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan (3) rendahnya harga komoditas.

Semakin Ketatnya Kebijakan Moneter Federal Reserve AS

Dalam pertemuan kebijakan terakhir di tahun 2015, bank sentral AS (Federal Reserve) memutuskan untuk menaikkan Fed Fund Rate utamanya sebesar 0,25%, sebuah langkah yang sudah diperkirakan oleh sebagian besar pelaku pasar dan oleh karena itu menyebabkan capital outflow hanya sedikit saja dari pasar-pasar negara berkembang. Pada bulan Agustus dan September pasar-pasar negara berkembang di Asia sudah terganggu oleh capital outflow besar-besaran karena kekuatiran mengenai perekonomian RRT meningkat (terutama setelah negara itu membiarkan yuan terdevaluasi tajam), sementara ekspektasi terhadap kenaikan suku bunga AS meningkat.

Namun, Federal Reserve AS diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga pada tahun 2016, meskipun secara bertahap dan perlahan. Meskipun di satu sisi ini merupakan tanda positif karena menandakan bahwa pemulihan ekonomi AS berada di jalur yang benar, di sisi lain hal itu dapat memicu capital outflow dari Indonesia, sehingga memberikan tekanan pada aset Indonesia. Rupiah, yang sangat rentan, mungkin perlu diperjuangkan oleh bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) melalui kenaikan suku bunga. Saat ini, suku bunga acuan Indonesia sudah relatif tinggi pada 7,50% sehingga membatasi ekspansi kredit dan pertumbuhan ekonomi.

Perlambatan Perekonomian RRT

Perekonomian RRT memiliki dampak besar pada perekonomian Indonesia karena RRT (ekonomi terbesar kedua di dunia) adalah mitra dagang utama Indonesia. Pertumbuhan ekonomi RRT telah melambat dikarenakan penurunan dramatis dalam perdagangan di tengah-tengah lambannya pertumbuhan di seluruh dunia. Ditambah lagi, pasar properti negara tersebut yang terlalu panas telah menyebabkan kontraksi pada hasil produksi konstruksi, sementara sektor manufaktur merosot karena permintaan atas ekspor RRT jatuh. Penurunan pada industri berat dan konstruksi RRT telah menjadi hambatan bagi harga minyak, bijih besi dan komoditas lainnya. Sementara itu, negara tersebut mengubah ekonominya dari digerakkan oleh investasi dan ekspor menjadi digerakkan oleh konsumsi, sebuah proses yang disertai dengan rasa sakit karena perubahan (growing pains).

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi RRT berkembang sebesar 6,3% (y/y) pada tahun 2016, turun dari perkiraan 6,8% (y/y) pada tahun 2015, dan turun dari 7,3% poin pertumbuhan pada tahun 2014. Diperkirakan bahwa untuk setiap penurunan satu persen poin pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) RRT, ekspansi ekonomi Indonesia dibatasi sebesar 0,5%.

Meskipun yuan RRT termasuk dalam Special Drawing Rights (SDR) IMF - dengan rata-rata weightage sebesar 10,91% - pada awal Desember 2015, RRT kemungkinan akan memutuskan untuk mendevaluasi yuan lagi pada tahun 2016 dalam upayanya untuk meningkatkan kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi. Pasar-pasar negara berkembang Asia lainnya kemungkinan akan menyesuaikan dengan cara melemahkan mata uang mereka untuk menjaga produk ekspor mereka tetap kompetitif.

Lemahnya Harga Komoditas

Pertumbuhan global yang lesu dan khususnya perlambatan ekonomi RRT menyebabkan tekanan ke bawah terhadap harga komoditas. Selain itu, melimpahnya pasokan (di AS dan negara-negara anggota OPEC) memicu rendahnya harga minyak (harga rendah seperti ini merupakan pertanda negatif bagi harga komoditas lainnya). Bagi Indonesia situasi tersebut menjadi masalah karena negara ini sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah (dan itulah alasan mengapa Pemerintah ingin mengembangkan industri hilir).

Pertumbuhan PDB Indonesia:

Lembaga       2015       2016
Pemerintah Indonesia       5.1%       5.3%
Bank Indonesia       4.9%       5.4%
Bank Pembangunan Asia (ADB)       4.9%       5.4%
Bank Dunia       4.7%       5.3%
Dana Moneter Internasional (IMF)       4.7%       5.5%

Berbagai sumber

Bahas