Walaupun tugas utama bank sentral adalah untuk menjaga kestabilan nilai rupiah dan untuk menjaga stabilitas tingkat inflasi, institusi ini mungkin bisa menerima masukan-masukan akan pentingnya suku bunga pinjaman yang lebih rendah dalam rangka memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Salah satu alasan mengapa pertumbuhan Indonesia melambat di beberapa tahun terakhir adalah karena kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk meningkatkan suku bunga acuannya (BI rate) secara bertahap antara Juni 2013 sampai November 2014 dari 5,75% menjadi 7,75%. Hal ini menghambat ekspansi kredit dan mengurangi daya beli masyarakat (dalam sebuah ekonomi yang 55% dari pertumbuhan ekonominya berasal dari konsumsi rumah tangga masyarakat). BI menetapkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dalam dua tahun terakhir sebagai strategi untuk melawan tingkat inflasi (yang meningkat tajam setelah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada Juni 2013 dan November 2014), untuk mengurangi defisit transaksi berjalan (yang mencapai rekor defisit tertinggi pada tahun 2013) dan untuk mendukung nilai tukar rupiah (yang mulai melemah secara tajam terhadap dollar Amerika Serikat setelah mantan Presiden Federal Reserve Ben Bernanke mulai berspekulasi - di akhir Mei 2013 - mengenai berakhirnya kebijakan moneter yang akomodatif dan yang kemudian mengakibatkan capital outflows dari perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia). Kendati begitu, di tengah harga minyak dunia yang rendah, Pemerintah Indonesia mampu mereformasi kebijakan bahan bakar bersubsidi, ini kurang lebih berarti penghilangan subsidi untuk bensin oktan rendah dan penerapan subsidi tetap Rp 1,000 per liter untuk diesel di Januari 2015. Akibatnya harga bahan bakar di Indonesia turun sejalan dengan harga minyak dunia yang turun dan menyebabkan penurunan biaya transportasi dan karena itu mengurangi tingkat inflasi di Indonesia. Meskipun kebanyakan analis memperkirakan Bank Indonesia untuk tetap menerapkan tingkat suku bunga pinjaman yang cukup tinggi pada 7,75% di 2015 karena ancaman naiknya tingkat suku bunga pinjaman Amerika Serikat yang diduga akan menyebabkan serangkaian capital outflows dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia (terutama karena Indonesia saat ini masih tetap mengalami defisit transaksi berjalan yang besar), BI melakukan tindakan yang mengejutkan dengan memotong BI rate dan suku bunga fasilitas simpanan BI (Fasbi), masing-masing 25 basis points, menjadi 7,50% dan 5.50 %, di pertengahan Februari (dan karenanya menjadi bank sentral ke-18 yang melonggarkan kebijakan moneter di tahun 2015). Untuk pasar saham Indonesia (terutama saham-saham yang sensitif terhadap perubahan suku bunga seperti sektor keuangan dan otomotif) ini adalah berita baik karena tingkat suku bunga pinjaman yang lebih rendah mendukung pertumbuhan ekonomi dan karena itu indeks saham acuan di Indonesia (Indeks Harga Saham Gabungan) mencatat serangkaian rekor tertinggi selama beberapa minggu terakhir ini. Nilai rupiah, di sisi lain, telah semakin tertekan akibat pemotongan suku bunga pinjaman BI, mendekati batasan yang menguatirkan Rp 13,000 per dollar AS (nilai tukar ini terakhir terlihat setelah Krisis Keuangan Asia di akhir tahun 1990an, periode yang membawa kenangan buruk pada para pembuat kebijakan, pelaku pasar dan masyarakat umum). Nilai acuan rupiah Bank Indonesia (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, disingkat menjadi JISDOR) melemah 1,01% menjadi Rp 12.993 per dollar AS pada hari Senin (02/03) dan membuat rupiah menjadi mata uang dengan perkembangan terburuk di antara mata uang-mata uang negara-negara berkembang di Asia selama awal 2015 (terhadap dollar AS). Dalam jangka waktu kurang dari tiga tahun nilai tukar rupiah (JISDOR) telah turun 45%, mengurangi keuntungan dari investasi-investasi yang dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar antar rupiah dan dollar AS (sebagai perbandingan Indeks Harga Saham Gabungan meningkat 37% pada periode yang sama).


Rupiah Indonesia versus Dollar AS:

| Source: Bank Indonesia


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):


Namun, sekalipun BI tidak akan membiarkan nilai tukar rupiah melemah secara berlebihan (diduga BI telah mengintervensi pasar ketika nilai rupiah melewati batasan Rp 13,000 per dollar AS di hari Senin), bank sentral memberikan sinyal jelas bahwa BI bisa menoleransi nilai tukar rupiah yang lebih lemah karena ini akan memiliki dampak positif pada neraca perdagangan Indonesia dan neraca transaksi berjalan (pengukuran paling luas dalam perdagangan barang dan jasa). Defisit transaksi berjalan membuat negara ini rentan terhadap capital outflows pada masa ketika ada goncangan-goncangan ekonomi karena indikator ini menunjukkan kepada para investor bahwa negara ini bergantung pada masuknya modal asing. Pada kuartal keempat 2014, defisit transaksi berjalan ini senilai 6,2 milliar dollar AS, setara dengan 2,81% dari produk domestik bruto (PDB), menurun dari 2,99% (yang telah direvisi) dari PDB pada kuartal sebelumnya. Sepanjang tahun 2014, defisit berada di 26,2 miliar dollar AS (2,95% dari PDB), dari defisit (yang telah direvisi) 29,1 milliar dollar AS (3,18% dari PDB) di tahun sebelumnya. Biasanya, defisit yang lebih dari 3% dari PDB dianggap tidak stabil dan karena itu beresiko sebagai aset bagi para investor. Terlebih lagi, BI menduga bahwa defisit nilai transaksi berjalan akan meningkat menjadi 3.0-3.1 % dari PDB di tahun 2015. Menilik dari perekonomian dunia yang tetap bermasalah, Indonesia memiliki kesulitan untuk meningkatkan kinerja ekspornya, kecuali kalau negara ini bisa membuat produk-produk ekspornya memiliki harga yang lebih kompetitif karena melemahnya nilai rupiah (sebaliknya nilai rupiah yang lemah membuat harga barang-barang impor lebih mahal, maka neraca perdagangan Indonesia akan membaik). Selama beberapa hari ini, para pejabat BI (termasuk Gubernur BI Agus Martowardojo) memberikan sinyal-sinyal bahwa BI masih menoleransi pelemahan rupiah yang lebih lanjut ("pelemahan nilai rupiah adalah dampak wajar dari momentum penguatan nilai dolar AS karena persembuhan struktural dalam ekonomi AS dan pengurangan kebijakan moneter yang longgar dari Federal Reserve") dan karena itu para pelaku pasar mengantisipasi skenario ini.


BI Rate Bank Indonesia:


Pemotongan Suku Bunga Lagi di 2015?

Tingkat inflasi di Indonesia biasanya rendah (atau menjadi deflasi) di bulan Maret ke Mei karena dampak musim panen pada harga bahan makanan dan karena itu kami menduga bahwa tingkat inflasi Indonesia akan terus menurun dan jatuh hingga mencapai range target bank sentral yaitu 3-5 % (y/y) pada akhir tahun. Karena BI menyatakan bahwa penurunan inflasi adalah alasan utama mengapa BI memotong suku bunga pinjamannya, pemotongan suku bunga lebih lanjut mungkin saja terjadi. Terlebih lagi, di dalam siaran pers mengenai pertemuan terakhir Dewan Gubernur BI (Februari) kita bisa mendeteksi sesuatu yang menarik. Walau dalam siaran-siaran pers mengenai pertemuan bulanan Gubernur BI yang dirilis sebelumnya BI selalu menyebutkan 'ancaman' dari peningkatan suku bunga pinjaman AS terhadap fundamen-fundamen keuangan Indonesia (dan karena itu menjadi alasan untuk menjaga suku bunga pinjaman yang tinggi - bahkan lebih tinggi lagi - sebagai langkah untuk mencegah capital outflows), siaran pers terakhir tidak menyebutkan lagi mengenai acaman ini. Malah, bank sentral Indonesian berfokus pada rencana paket stimulus moneter di Uni Eropa (Bank Uni Eropa akan membeli utang sektor publik dan swasta senilai 60 milliar euro setiap bulannya dari Maret 2015 sampai September 2016 dalam rangka meningkatkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa). Menurut BI, tindakan pelonggaran kebijakan moneter ini (quantitative easing) akan mendorong "masuknya modal portofolio asing ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kendati adanya potensi ketidakjelasan dan volatilitasnya pasar keuangan dunia" dan karena itu mengurangi dampak negatif dari capital outflows yang mungkin terjadi akibat pengetatan kebijakan moneter di AS.

 
Inflasi di Indonesia:

Bulan  Monthly Growth
          2013
 Monthly Growth
          2014
 Monthly Growth
          2015
Januari          1.03%          1.07%         -0.24%
Februari          0.75%          0.26%         -0.36%
Maret          0.63%          0.08%
April         -0.10%         -0.02%
Mei         -0.03%          0.16%
Juni          1.03%          0.43%
Juli          3.29%          0.93%
Augustus          1.12%          0.47%
September         -0.35%          0.27%
Oktober          0.09%          0.47%
November          0.12%          1.50%
Desember          0.55%          2.46%
Total          8.38%          8.36%         -0.61%

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)


Inflasi di Indonesia 2008-2014:

     2008    2009    2010    2011    2012    2013    2014
Inflasi
(annual percent change)
    9.8     4.8     5.1     5.4     4.3     8.4     8.4

Sumber: Bank Dunia

Bahas