Selama beberapa bulan terakhir, MoPS patokan telah berada di bawah USD $450 per ton, yang menunjukkan bahwa produsen bahan bakar nabati Indonesia harus menanggung kerugian karena harga minyak sawit saat ini sekitar USD $650 per ton. Pejabat Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan memperkirakan bahwa kerugian yang ditanggung oleh produsen biodiesel Indonesia (akibat harga MoPS yang rendah) sekitar USD $900,000 per hari. Sebagai akibatnya, beberapa produsen biodiesel telah menurunkan atau menghentikan secara bersamaan pasokan biodiesel kepada perusahaan energi milik negara Pertamina. Namun demikian, berita baik yang muncul yakni bahwa Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi urusan energi minggu lalu sepakat untuk menerapkan satu formula baru untuk menetapkan harga biodiesel. Patokan baru ini tidak didasarkan pada MoPS namun pada harga minyak sawit mentah yang berlaku saat ini. Formula ini juga meliputi biaya produksi biofuel (yang diperkirakan sekitar USD $188 per hari) dan marjin tiga persen. Aprobi yakin bahwa salah satu kunci untuk mengembangkan industri biodiesel adalah harga patokan baru ini.

Formula baru: CPO + USD$ 188/ton) x 870 kg/m3.

Program biodiesel pemerintah (yang disebut dengan B10) diperkenalkan pada bulan Agustus 2013 ketika kandungan wajib ester metil asam lemak (yang berasal dari minyak sawit) di dalam biodiesel dinaikkan dari 7.5 persen menjadi 10 persen. Peraturan baru ini dirancang untuk membatasi impor minyak yang mahal (untuk konsumsi bahan bakar dalam negeri) yang menyebabkan defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan. Kandungan wajib di dalam biodiesel akan dinaikkan menjadi 15 persen (B15) pada bulan September 2015 dan 20 persen (B20) pada bulan Januari 2016. Namun demikian, program ambisius ini terhambat oleh beberapa masalah logistik dan infrastruktur termasuk harga minyak mentah yang turun secara tajam belakangan ini sehingga menyebabkan biofuel sebagai alternatif yang kurang menarik. Aprobi juga berharap bahwa ketika pemerintah menerapkan formula patokan biodiesel yang baru tersebut, Pertamina (distributor biodiesel di Indonesia) akan mengikuti patokan ini and tidak hanya untuk tender baru tetapi juga untuk kontrak yang telah ditandatangani selama dua tahun pertama pelaksanaan program ini (2013-2014).

Pada tahun 2014, Indonesia mengkonsumsi total 1.7 juta ton biodiesel, jauh dari target pemerintah 3.5 juta ton. Masalah yang timbul adalah Pertamina terlambat membuka tender karena tidak tercapainya kesepakatan harga. Sementara itu, ekspor biodiesel diperkirakan turun menjadi 1.4 juta ton pada tahun 2015 (dari 1.6 juta ton di tahun sebelumnya) akibat penurunan permintaan dari Eurozone. Namun demikian, Indonesia berharap untuk memperoleh pasar baru untuk biodiesel di China, India, Australia dan AS.

Kebijakan biodiesel baru yang diimplementasikan pemerintah (yaitu subsidi yang lebih tinggi dan penerapan formula baru) telah meningkatkan harga minyak sawit global karena perkiraan permintaan minyak sawit akan naik di Indonesia, produsen minyak sawit terbesar di dunia. Para produsen minyak sawit yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia menyaksikan nilai sahamnya melonjak pada hari Jumat (06/02). Namun demikian, pada hari Senin (09/02), nilai saham tersebut turun akibat keinginan para investor untuk mengambil keuntungan. Namun demikian, perusahaan minyak sawit tersebut diharapkan dapat menyaksikan nilai saham yang menguat minggu ini.

Bahas