Sebagai produsen dan eksportir komoditi yang penting, Indonesia menderita karena rendahnya harga komoditi dunia pada saat ini maka nilai ekspor menurun drastis selama beberapa tahun terakhir. Apalagi Bank Dunia memproyeksi bahwa tekanan pada harga komoditi kemungkinan akan berlanjut pada tahun ini. Institusi ini memprediksi bahwa ekspor ke Republik Rakyat Tionghoa (RRT) akan menurun, terutama ekspor batubara. RRT telah mengalami periode perlambatan pertumbuhan dan ini telah memberikan dampak yang menyebar ke seluruh wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara.

Perekonomian RRT diprediksi akan bertumbuh 7,1% (y/y) di 2015 dan 7,0% (y/y) di 2016, turun dari pertumbuhan 7,4% (y/y) di 2014. Salah satu penyebab trend perlambatan adalah niat para pembuat kebijakan RRT untuk mengubah perekonomian RRT dari ‘didorong oleh ekspor’ menjadi ‘didorong oleh konsumsi’.

Berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor Indonesia senilai 12,29 miliar dollar Amerika Serikat (AS) pada Februari 2015, menurun 16,02% (y/y) dan merupakan penurunan terbesar dalam hampir tiga tahun terakhir. Performa ekspor Indonesia melemah karena rendahnya harga minyak mentah dan komoditi dunia. Sementara itu, penurunan nilai tukar rupiah yang besar terhadap dollar AS gagal untuk mendukung ekspor negara. Sebaliknya penurunan nilai tukar rupiah justru memperparah kondisi karena menyebabkan ‘inflasi impor’.

Rupiah Indonesia versus Dollar AS (JISDOR):

| Source: Bank Indonesia

Secara teori, pelemahan nilai tukar rupiah yang tajam terhadap dollar AS seharusnya mendongkrak ekspor Indonesia. Namun, kondisi ini pada umumnya tidak terjadi karena lemahnya permintaan global untuk komoditi dan juga karena kenaikan upah kerja di Indonesia dan faktor-faktor lain, seperti infrastruktur dan birokrasi berlebihan. Semua faktor ini menghambat ekspor manufaktur Indonesia (dan melemahkan daya kompetitif). Terlebih lagi, karena tingginya inflasi di Indonesia, nilai tukar riil rupiah secara trade-weighted pada faktanya menguat.

Selain dari performa ekspor yang lemah, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dihalangi oleh tingkat suku bunga yang tinggi. Mulai dari Juni 2013, bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) memperkenalkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi (secara bertahap) dalam usaha untuk melawan inflasi (yang meningkat setelah beberapa kenaikan harga bahan bakar bersubsidi), memotong defisit transaksi berjalan Indonesia yang besar, mendukung nilai tukar rupiah, dan membatasi capital outflow karena pengetatan moneter di AS. Pada saat ini, tingkat suku bunga yang menjadi acuan Bank Indonesia (BI) berada di angka 7,50% (naik secara signifikan dari 5,75% di Juni 2013). Pada hari ini (Selasa 14 April 2015), Bank Indonesia akan kembali mengadakan pertemuan membahas kebijakan yang akan mendiskusikan mengenai tingkat suku bunga Indonesia. Kebanyakan analis memprediksi bahwa bank sentral akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya (BI rate) pada 7,50%.

Pelemahan nilai tukar rupiah yang tajam terus melanda Indonesia dan mendorong pada penurunan kepercayaan investor terhadap fundamental finansial Indonesia. Laporan terakhir dari Bank Dunia menyarankan bahwa Indonesia perlu mengatasi halangan-halangan struktural dalam rangka menciptakan pertumbuhan yang cepat dan struktural. Hal ini diperlukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan (yang berkualitas) dan mendukung pengentasan kemiskinan.

Bahas