Kami kira akan melihat kinerja positif IHSG di bulan Januari karena ada beberapa alasan yang membenarkan optimisme tersebut (meskipun tetap ada kondisi menantang karena harga komoditas, dipimpin oleh minyak mentah, masih menurun, sementara para investor tetap berhati-hati menjelang penerbitan data ekonomi RRT).

Pertama, efek Januari (January effect) - mengacu pada kecenderungan saham naik di bulan pertama tahun berjalan - mungkin dirasakan oleh saham Indonesia pada tahun 2016. Namun, mungkin efek ini tidak terasa terlalu kuat karena IHSG telah naik relatif kuat (meskipun perdagangannya sepi) dalam dua minggu terakhir di bulan Desember. Biasanya efek Januari mengikuti penurunan harga saham pada bulan Desember (karena para investor menciptakan kerugian pajak untuk mengimbangi pendapatan modal).

Kedua, ada optimisme bahwa tahun 2016 akan menjadi tahun yang lebih baik, secara ekonomi, dibandingkan dengan tahun 2015. Indonesia gagal mencapai sebagian besar target pertumbuhan ekonominya pada tahun 2015 karena faktor global dan domestik. Namun, 2016 diharapkan menjadi tahun yang lebih baik karena Federal Reserve AS akhirnya memutuskan untuk menaikkan Fed Fund Rate yang menjadi acuan (di akhir 2015), menyiratkan bahwa sebagian besar ketidakpastian telah dihapus dari pasar. Meskipun diduga bahwa suku bunga AS akan semakin naik pada tahun 2016 (meskipun perlahan dan bertahap), dan yang dapat menyebabkan capital outflow dari pasar negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kita tahu sekarang bahwa Federal Reserve yakin tentang kualitas pemulihan ekonomi AS.

Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia diperkirakan telah melambat menjadi 4,7% pada basis year-on-year (y/y) pada tahun 2015, laju pertumbuhan paling lambat sejak 2009. Namun, sebagian besar lembaga-lembaga nasional dan internasional memperkiraan PDB Indonesia bertumbuh menjadi 5,3% (y/y) pada tahun 2016. Selain itu, karena inflasi terkendali (sekitar 3% y/y) dan defisit transaksi berjalan dalam kondisi lebih sehat, Bank Indonesia mungkin akan memangkas BI rate dari tingkat yang relatif tinggi pada 7,50%, hingga memberikan ruang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, Bank Indonesia (BI) masih prihatin dengan rupiah yang rapuh menjelang berlanjutnya kenaikan tingkat suku bunga AS (dan kemungkinan berlanjutnya devaluasi yuan Republik Rakyat Tiongkok) dan oleh karena itu kebijakan moneter Indonesia mungkin tetap agak ketat.

Hari ini, Badan Pusat Statistik di Indonesia (BPS) akan merilis angka inflasi Desember 2015 yang resmi. Inflasi tahun kalender (Januari - Desember 2015) diperkirakan sebesar 3% (y/y), jauh di bawah target pemerintah sebesar 5%, dan bahkan di bawah kisaran target bank sentral di 3,5% - 5,5%.

Ketiga, karena harga minyak mentah dunia yang rendah, Indonesia akan mengalami harga energi yang lebih rendah per Januari 2016 (harga bahan bakar dan listrik). Harga energi yang lebih rendah akan meningkatkan daya beli masyarakat.

Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG):

Tahun  Jakarta Composite Index
     year-on-year growth
 2015               -12.13%
 2014               +22.29%
 2013                -0.98%
 2012               +12.94%
 2011                +3.20%
 2010               +46.13%
 2009               +86.98%
 2008               -50.64%
 2007               +52.08%

Sumber: Indonesia Stock Exchange

Setelah perdagangan dibuka di Jakarta, IHSG - sejalan dengan tren di Asia pagi ini - segera jatuh ke zona merah. Sampai pada pukul 09:22 Waktu Indonesia Barat (WIB), IHSG turun 0,32% menjadi 4.578,49 poin. Sementara itu, rupiah Indonesia telah terdepresiasi 0,60% menjadi Rp 13.913 per dollar AS (Bloomberg Dollar Index) pada waktu yang sama.

Bahas