BKPM, lembaga Pemerintah yang bertugas melayani proses investasi, memutuskan untuk mencabut izin-izin ini karena perusahaan asal luar negeri ini telah gagal melaporkan aktivitas-aktivitas investasi mereka kepada BKPM. Banyak dari perusahaan-perusahaan asing ini (setelah mendapatkan izin prinsip) menghadapi kesulitan (birokrasi yang buruk dan ketidakpastian hukum) untuk merealisasikan proyek-proyek mereka, contohnya karena permasalahan pembebasan tanah atau kegagalan mendapat izin lebih lanjut dari pemerintah daerah yang menyebabkan penundaan maupun pembatalan dari proyek-proyek ini. Franky Sibarani, Kepala BKPM, mengatakan bahwa setelah pencabutan izin ini maka perusahaan yang masih melaksanakan kegiatan bisnis mereka di Indonesia tanpa izin berarti sedang melakukan pelanggaran hukum. Investor-investor asing yang izinnya telah dicabut tidak akan dimasukkan dalam daftar hitam oleh Pemerintah Indonesia namun mereka harus melakukan pengajuan izin prinsip baru.

Izin-izin yang dicabut ini mencakup proyek-proyek seperti pembangunan pabrik kimia dasar senilai 5 miliar dollar AS di Jawa Timur, proyek-proyek pertambangan di Aceh (Sumatra) senilai 1 miliar dollar AS dan pembangunan smelter bauksit senilai 800 juta dollar AS di Kalimantan Barat. Izin-izin prinsip yang paling banyak dicabut berhubungan dengan proyek-proyek di Jawa Barat yang merupakan provinsi paling padat penduduk di Indonesia dan juga tempat sebagian besar investasi langsung luar negeri (foreign direct investment) terkonsentrasi. Konon, para investor yang terlibat dalam proyek-proyek yang disebutkan di atas telah memutuskan untuk membatalkan investasi mereka di Indonesia sebelum BKPM memutuskan untuk mencabut izin-izin prinsip tersebut.

Sebagian besar izin-izin prinsip yang dicabut berhubungan dengan sektor jasa perdagangan dan reparasi (30% dari total izin yang dicabut), diikuti oleh sektor jasa pertambangan (20%). Azhar Lubis, Deputi Bidang Pengendalian Penanaman Modal BKPM, mengatakan bahwa banyak perusahaan pertambangan asing - dengan total nilai investasi 3,3 miliar dollar AS di Indonesia - terpaksa menghentikan operasi mereka setelah Pemerintah Indonesia memberlakukan larangan ekspor biji mineral mentah di Januari 2014.

Perusahaan-perusahaan asing juga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan izin dari pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia karena negara ini masih terhambat oleh birokrasi yang berlebihan yang menjadi salah satu halangan utama dalam realisasi investasi. Sebagai upaya mengurangi prosedur birokrasi yang lambat dan rumit, Pemerintah Indonesia memperkenalkan layanan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di BKPM pada Januari 2015 yang bertujuan untuk menyederhanakan prosedur-prosedur perizinan untuk proyek-proyek investasi sehingga para investor tidak perlu mengunjungi berbagai kementerian atau lembaga pemerintah untuk mendapatkan izin-izin yang dibutuhkan namun bisa mengurusnya melalui PTSP di BKPM saja. Namun, konsep baru ini hanya mempercepat prosedur perizinan di antara berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan pada tingkat pusat, bukan pemerintah daerah. Sejak proses desentralisasi (berawal setelah 1998), banyak kekuasaan telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Namun, karena kurangnya sumberdaya manusia yang bermutu (dan korupsi) pada tingkat pemerintah daerah dan juga lemahnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah-Pemerintah Daerah, proyek-proyek investasi sering menghabiskan banyak uang dan waktu secara tidak efektif. Dalam laporan Indonesia Economic Quarterly yang terbaru, Bank Dunia menekankan bahwa BKPM masih harus melalui jalan panjang sebelum bisa sepenuhnya mengintegrasi proses-proses yang ada melalui PTSP.

Dalam laporan yang sama Bank Dunia menekankan pentingnya iklim investasi yang lebih kondusif di Indonesia untuk menarik para investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (yang telah mencapai kecepatan paling lambat dalam periode lima tahun yaitu 5% dalam basis year-on-year di 2014). Pada saat ini, Indonesia berada dalam ranking 114 dari 189 negara dalam Doing Business 2015 index yang dibuat Bank Dunia. Dalam kategori 'Mendirikan Bisnis' negara ini berada di ranking 155 dan dalam kategori 'Mengurus Izin Pembangunan' Indonesia berada di ranking 153. Investasi (baik investasi asing maupun domestik) adalah pendorong terbesar kedua dari pertumbuhan ekonomi Indonesia (setelah konsumsi domestik). Pemerintahan Presiden Joko Widodo sering mengatakan bahwa pertumbuhan investasi adalah sumber vital bagi pertumbuhan ekonomi di negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dalam tahun-tahun ke depan. Target BKPM adalah untuk menarik total investasi asing dan domestik senilai Rp 519,5 triliun pada tahun 2015, naik 14% dari tahun sebelumnya.

Yang tak kalah pentingnya adalah menambah jumlah entrepreneur di Indonesia dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini, hanya 1,65% dari total penduduk Indonesia yang menjadi entrepreneur, angka yang rendah dibandingkan Singapura (7%), Malaysia (5%) atau Thailand (4%). Adanya lebih banyak entrepreneur Indonesia adalah salah satu kunci menciptakan pekerjaan dan menambah pendapatan nasional.

Investasi Asing & Domestik di Indonesia (dalam IDR triliun)

                       2014
  Q1   Q2   Q3   Q4
Domestic Direct Investment  34.6  38.2  41.6  41.7
Foreign Direct Investment  72.0  78.0  78.3  78.7
Total Investment
106.6  116.2 119.9 120.4

 

                   2011
               2012                2013
 Q1  Q2  Q3  Q4  Q1  Q2  Q3  Q4  Q1  Q2   Q3   Q4
Domestic Direct Investment 14.1 18.9 19.0 24.0 19.7 20.8 25.2 27.5 27.5 33.1  33.5  34.1
Foreign Direct Investment 39.5 43.1 46.5 46.2 51.5 56.1 56.6 65.5 65.5 66.7  67.0  71.2
Total Investment
53.6  62.0 65.5 70.2 71.2 76.9 81.8 83.3 93.0 99.8 100.5 105.3

Sumber: BKPM

Lanjut Baca:

Investment Realization in Indonesia in Q4-2014 and Full-Year 2014
BKPM Press Release on Investment in 2014

Bahas